RUU KUHP: Anak Lebih Penting dari Kartu Kredit?

Muhammad Joni

Pekan ini saya mengubak lagi dokumen RUU KUHP. Ikhtiar membantu KPAI menguji lagi hukum pidana materil yang diambilalih dari konkordansi Wetboek van Strafrech (WvS) warisan Belanda.

Jika misi pertama RUU KUHP itu dekolonisasi dan rekodefikasi, serta demokratisasi hukum pidana dan konsolidasi hukum pidana sebagai misi kedua dan ketiga, maka sahih menguji lagi 628 pasal dan dua buku RUU KUHP itu.

Mengapa diuji lagi? Mengikuti Socrates, hidup yang bermakna adakah hidup yang diuji; maka RUU KUHP yang bermakna jika diuji (lagi). Incasu, dalam konteks mandat KPAI mengawal perlindungan anak dan hak anak.

Karena RUU KUHP bergeser dari orientasi perbuatan (Daad Strafrecht) kepada orientasi peduli pelaku (Daad-Dader Strafrecht), maka sahih peduli stadium tinggi pada pelaku Anak. Anak adalah pertimbangan puncak (paramaount consideration).

Saya tergoda membaca –dan menguji ketahanan logika serta moral keadilan hukum pidana– rumusan Pasal 5. Asas Proteksi dianut dalam RUU KUHP.

Artinya? Pelaku kejahatan –bisa WNI, bisa orang asing– diancam pidana jika melakukan delik KUHP ini di luar negeri, asalkan terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekali lagi; kepentingan NKRI. Semoga paham, NKRI jauh beda dan bukan perusahaan perbankan. Sabar, nantikan plot, logika dan narasi penjelasannya.

Apakah Anak itu kepentingan NKRI? Absolut benar! Itu mandat konstitusi: Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Apa misi opini mini ini? Petisinya? Satu diantaranya, Asas Proteksi Pasal 5 RUU KUHP musti melekat untuk Anak Indonesia, pun locus delictie terjadi di luar negeri.

Logikanya? Kalau kartu kredit saja masuk Asas Proteksi, yang eksplisit bunyi menjadi frasa Asas Proteksi, aha…., mengapa tidak Asas Proteksi diimbuhkan kepada Anak?

Bukankah Anak masuk dalam konstitusi. Bukankah konstitusi musti efektif menjadi konstitusi yang hidup (living constitution), bukan hidup namun tergeletak lunglai dan alami “stunting”. Bukankah konstitusi tidak boleh dianggap hanya dokumen seremonial dan aspirasional, meminjam I D.G. Palguna yang kini Hakim Konstitusi. Bukankah konstitusi, seperti satire Ewa Latowska ‐-jurist constitutionalist asal Polandia– bukan menu restoran: tertulis ada tapi dak tersedia.

Eureka…, Anak jauh lebih penting dari kartu kredit –yang diterbitkan korporasi perbankan Indonesia. Lagi pula kartu kredit bukan produk perbankan yang prominent dan keren, lagi. Lagi pula, mana ada kartu kredit dikeluarkan NKRI juncto Pemerintah. Kalau mata uang, ya.. iyalah!

Ayo, ujikan konstitusi hak anak dalam tiap inci dan tetiap diksi RUU KUHP agar menjadi makin berarti bagi Anak. Melengkapi misi dekolonisai dan rekodefikasi dengan konstitusi hak anak. Tabik. (Muhammad Joni, Advokat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia/MKI).

Leave a Reply