RUU Pertanahan dan Mitos Globalisasi
Akankah mutlak globalisasi ekonomi menjadi alasan tunggal globalisasi hukum? Katup kearifan lokal tersingkir demi investasi dan globalisdasi ekonomi? Tunggu dulu! Apalagi berkaitan dengan hukum non-netral yang bersumber dari keyakinan dan ihwal transedental, seperti ciri dalam hukum adat. Apalagi hukum tanah yang berkenaan dengan asas nasionalisme dan fungsi sosial tanah.
Selain alasan itu, bukankah transplantasi norma hukum suatu negeri, tak begitu saja dapat dipakai seperti mengganti suku cadang kenderaan bermesin. Inilah landasan teori terapan yang dipakai menelaah urgensikah mengaitkan globalisasi dengan hukum pertanahan.
Ihtiar menelaah RUU Pertanahan yang dilakukan kaum terpelajar di Universitas patyut diangkat jempol. Sejawat Yang Amat Terpelajar Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, pakar hukum adat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) menguliti RUU Pertanahan dari sisi hak ulayat masyarakat adat, itu ihwal yang patut diberi appresiasi. Sungguh!
Banyak hal ihwal ajaran hukum adat yang tanpa hambatan memasuki alam pikiran akademis saya. Walau tak dengan utuh mencermati globalisasi dan hukum, tapi saya terpanggil untuk urun rembug memberikan beberapa bahan pembanding. Beralasankah teori globalisasi ekonomi memengaruhi globalisasi hukum itu dalam menelaah RUU Pertanahan?
Pertanyaan mendasar yang diajukan, apakah kita percaya kepada gagasan globalisasi? Otentik-kah itu menyejahterakan rakyat global?Sepertinya, sejawat Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum sangat percaya dan menggunakan banyak pertimbangan untuk memercayai globalisasi. Setidaknya dari sepenggal kutipan ini: “Globalisasi adalah karakteristik hubungan antara penduduk bumi yang melampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara. Dalam proses tersebut, dunia dimampatkan (compressed) serta terjaadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai suatu kesatuan yang utuh”.
Saya membungkar lagi beberapa kepustakaan pribadi, dan menemukan beberapa buku, dan tergerak menuliskan judul-judulnya, dan mengutip serta mengomentarinya di sana sini. Ada 3 judul buku yang saya baca lagi menekuiri isu globalisasi sebagai alasan RUU Pertanahan, yakni “Globalisasi adalah Mitos”, oleh Paul Grahame Thomson, diterbitkan yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001; “Ancaman Globalisasi & Imperialisme Lingkungan”, oleh Hira Jhamtani, diterbitkan atas kerjasama Insist Press, Konphalindo dan Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2001, dan “Petani & Penguasa – Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia”, oleh Noer Fauzie, diterbitkan Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 1999.
Dari ketika buku itu, penulis menyimpulkan untuk tidak memercayai sepenuhnya tanpa syarat kepada globalisasi. Kenapa? Hemat saya, globalisasi memamah kearifan lokal, cenderung menghisap, dan meninggalkan banyak persoalan dalam lingkungan dan kesenjangan ekonomi.
Didik J. Rachbini yang memberi kata pengantar atas buku “Globalisasi adalah Mitos”, oleh Paul Grahame Thomson, mendalilkan beberapa hal mengapa globalisasi perlu dicurigai menjadi krisis ekonomi, industri bahkan krisis sosial dan politik? Rachbini mengajukan pertanyaan mengapa sistem keuangan yang dikendalikan secara global itu rentan. Tidak saja bagi Negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga Negara maju dan ekonomi dunia secara keseluruhan. Pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Menurut Rachbini:
(1) system nilai tukar yang mengambang ternyata pada tingkat global tidak dapat dikendalikan. Ekonomi kerap overvalued, mengalami kerapuhan sistemik. Pikiran pun meloncat kepada krisi ekonomi Eropah, isu yang tak terlalu lama bergema betapa rapuhnya ekonomi Itali, Yunani, dan beberapa Negara Eropah, dalam beberapa waktu lalu.
(2) penerapan nilai tukar mengambang sejak 1980-an ternyata gagal menstabilkan nilai mata uang antar Negara. Sistem itu tidak mendorong globalisasi perdagangan karena sebagian dari Negara mengalami overvalued pada nilai tukarnya ternyata membangun tembok-tembok proteksi dan beragam hambatan non tariff. Pada bagian lain Rachbini menukilkan bahwa di pasar uang, valuta dan saham, tidak ada institusi moral dan etika seperti dalam institusi sosial dan politik suatu Negara. Kehadiran globalisasi menjadi krusial, paradox dan menciptakan konflik nilai.
Dalam kesimpulan buku “Globalisasi adalah Mitos”, saya terbius dengan ungkapan Paul Grahame Thomson bahwasanya: “TNC yang benar-benar global hanya relative sedikit dan bahwa kebanyakan perusahaan multinasional terus beroperasi dari basis nasional yang berbeda-beda” (hal. 301). Artinya, globalisasi hanya secuil saja kebenarannya. Hanya Mitos!
Membaca itu, saya teringat dari pelajaran dasar dalam hukum adat yang menggunakan nilai dan keadaban dalam membangun asas, norma dan kelembagaan hukum adat.
Pertanyaan ektrimnya, apakah globalisasi yang bertemali dengan realitas konflik itu tadi bisa bersisian secara damai dengan hukum adat yang mengagungkan nilai dan keadaban domestik?
Membaca lagi buku “Ancaman Globalisasi & Imperialisme Lingkungan”, oleh Hira Jhamtani, melompatkan kenangan saya kala bertemu dengannya belasan tahun lalu di Yogjakarta, kala itu masih aktifis hak asasi manusia, walau kini masih saja aktifis dengan tensi dan karakter berbeda. Saya mesti mengucapkan terimakasih pada Hira Jhamtani yang mencerahkan pikiran mengenai analisis kritis perihal vis a vis globalisasi dengan tema lingkungan. Hira menulis bahwa “paradigma keserakahan ini diterapkan dalam pengelolaan, itulah awal kerusakan hutan tropik. Keserakahan yang dituntut oleh system perdagangan global, bertentangan dengan proses-proses alam, merusak daya pulih ekosistem hutan dan bersifat tidak berkelanjutan secara ekologis” (hal. 151).
Hira Jhamtanui mengulas betapa hukum adat justru bijak lingkungan, seperti Masyarakat Kesepuhan Jawa Barat yang membangun pola pemanfaatan hutan yang arif mirip konsep taman nasional modern, pun demikian pola agroforestry tradisional di berbagai daerah Indonesia sukses melestarikan plasma nutfah buah-buahan dan tanaman lain dengan konsep keberagaman.
Kita tahu, keberagaman adalah via a vis keseragaman alias monokultur. Globalisasi yang menghendaki satu kultur atau monokultur tanaman melahirkan paradigma yang tak melestarikan lingkungan. Saya pun teringat akan kritik pada monokultur tanaman sawit. Hira menegaskan bahwa monokultur yang merupakan anak kandung globalisasi itu adalah bertentangan dengan kaidah alam dinyatakan sebagai pelestari lingkungan (hal 151-152).
Membaca buku Noer Fauzie, tercerahkan betapa pandangan yang memahami tanah sebagai fungsi sosial sudah bergeser dengan konsep tanah sebagai komoditi. Globalisasi tak pernah abai dengan dan identik dengan pemahaman tanah adalah komoditi. Bahkan komoditi utama untuk turunan perdagangan apapun.
Dengan mengurip Walden Bello, mas Noer Fauzi hendak mengatakan bahwa menjadikan tanah sebagai komiditi adalah kehendak globalisasi. Itu via a visdengan fungsi sosial tanah. Mengutip Bello, yang antara lain bahwa dalam ideologi pasar, yang membebaskan kekuatan pasar dari hambatan Negara, telah diagungkan sebagai bentuk usaha menjalankan kepentingan umum. Bukan hanya untuk kepentingan bisnis tetapi juga kepentingan masyarakat (hal. 224-225).
Saya jadi menarik kesimpulan sendiri bahwa kepentingan bisnis dan pasar yang menjadi sinonim dari globalisasi, dengan gegabah memutar balikkan pikiran kita bahwa yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan umum.
Kalau begitu, agaknya kita perlu memikirkan lagi UU Pengadaan tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang merambah ke sektor pelabuhan, jalan tol, bandara dan lain sebagainya. Apalagi dikaitkan dengankebijakan menlonggarkan dan merevisi daftar Negatif Investasi yang makin membuka asing masuk ke sektor yang sebelumnya tertutup.
Mestinya, asas fungsi sosial tanah menjadi penanda kuat dalam menghempang keserakahan kapitalisme menguasai tanah. Bukankah sektor pelabuhan, bandara, jalan tol adalah sedikit daftar kegiatan ekonomi pasar yang kini nterbuka bagi investasi asing? Kalau asas fungsi social tanah dan asas nasionalisme dalam UU Pokok Agraria, maka tak ada alasan bagi membiarkan penguasaan tanah bagi kapital dengan membuka opsi investasi asing sektor jalan tool, pelabuhran dan bandara? Prof Mahadi (alm) yang pernah guru besar Fakultas Hukum USU mengajarkan bahwa asaslah yang menganyam nmorma hukum, bukan sebaliknya. Norma hukum positif yang bersesuaian dengan asas itu seperti bayi yang dilahirkan telah “matang’ dan cukup usia dalam kandungan.
Tulisan ini masih sangat dini, sederhana dan tepatnya percikan pikiran kecil saja. Karenanya, patut diuji dan dikritisi sembari mengembangkan lebih gemuk lagi baik gizi dan ketangguhan kerangka tubuhnya. Setidaknya, ini hanya percikan pemikiran, yang membantu kita menemukan api kebenaran dan menggiatkan kesholehan sosial.