Ruyati, Satgas TKI dan Van den Brand – Opini IMPERIUM
Ruyati bin Satubi dieksekusi. Kabar perih itu menghenyak Jakarta. Sebelum kabar anyar itu, Jakarta nyaris datar dan cenderung aman tak terusik desas desus ancaman pancung Ruyati. Duh Ruyati, simpati mengalir deras kepadamu. Perasaan keadilan publik terkoyak-koyak seketika. Mengapa ”pahlawan devisa” itu bagaikan warga stateless atau tanpa negara, dibiarkan sendirian menanti ajalnya. Apa mau dikata, telah jatuh korban lagi.
Diwartakan, kua-juridis perbuatan membunuh dilakukan almarhumah terhadap majikannya. Cukup banyak bukti yang akhirnya menghantarkan dia ke akhirat. Nasibnya tak tertolong lagi, Ruyati menjalani vonis Mahkamah Umum Makkah yang mengadilinya.
Kua-teknis juridis, mungkin benar noktah merah perbuatan membunuh majikan sahih terjadi. Tuduhan itupun diakui Ruyati dengan gamblang, seperti dikatakan Tuan Duta Besar Indonesia di Arab Saudi. Begitulah, dengan mudah nasib terpancung menghampiri Ruyati.
Akan tetapi, otentikkah jika Ruyati dipotret hanya dalam kerangka pelaku kriminal pembunuhan seakan perbuatan otonom dan terjadi dengan sendirinya begitu saja? Apakah diawal cerita, tuan ambassador tak menelisik mencari tahu kisah miris derita Ruyati? Mengapa Pemerintah tidak merisaukan motif dibaliknya, dan tergerak mencari kausa prima yang terbit dari fakta-fakta pedih derita Ruyati. Bukankah opsi mengubak kausalitas perbuatan pokok pembunuhan itu bisa berpangkal dari asumsi logis bahwa perbuatan itu adalah hasrat normal perlawanan atas kekerasan majikan? Membangun asumsi bahwa pembunuhan itu bermula dari kausa prima derita panjang Ruyati.
Akal yang berjalan tegak pasti setuju mendalilkan bahwa perempuan pekerja migran dan cuma pembantu rumah tangga seperti Ruyati, takkan tangguh melawan hegemoni tuan dan nyonya rumah pemberi kerja. Apalagi relasi timpang antara pembantu rumah tangga dengan majikan.
Motif pembunuhan tidak otentik jika ditempelkan kepada Ruyati jika ditatap dari setting sosio-kultural relasi hubungan kerja pekerja migran dan majikannya yang cenderung timpang. Singkatnya, tak adil jika sepenggal tabiat Ruyati dipergunakan sebagai justifikasi bahwa hal itu perbuatan otonom dirinya sendiri.
Perlakuan kasar tak manusiawi derita Ruyati, mengapa sunyi senyap tanpa investigasi dan tak ada yang perduli? Mengapa petinggi negeri tak mengutus tim investigasi menyungkil hal-ikhwal eksekusi mati Ruyati yang bukan soal remeh lagi.
Dari istana Presiden, respon atas kasus eksekusi Ruyati bermetamorfosa menjadi pembentukan satuan tugas tenaga kerja Indonesia (Satgas TKI). Geliat istana seakan mengabaikan portopolio badan perlindungan TKI, kementerian tenagakerja dan kementerian luar negeri.
Tugas utama Satgas TKI mencegah TKI yang terancam hukuman mati yang tersebar di empat negara: Arab Saudi, China, Malaysia dan Singapura. Sudah terdata, 25 orang TKI di Arab Saudi, 20 di Cina, 15 di Malaysia, dan 1 di Singapura, semua terancam hukuman mati. Sementara Migrant Care mendata 307 TKI terancam sejenis di Malaysia, dan 25 TKI di Arab Saudi (Kompas, 6-7-2011).Nah, mengapa pula simpang siur data yang jauh berbeda?
Rasanya tak terlalu sulit jika menugaskan Satgas TKI mencari fakta-fakta dan kausa prima dibalik eksekusi Ruyati. Membongkar kelambanan dan aneka kisruh yang berujung pada punahnya hak hidup Ruyati. Hak hidup yang tak lain hak utama (supreme right) yang tak boleh diabaikan, walau sekecil apapun ancaman kadar resiko hukuman mati itu.
Dalam wacana instrumen/konvensi internasional, hak hidup merupakan hak asasi yang tidak boleh dicabut dalam keadaan apapun, yang harus dilindungi dalam segala keadaan. Termasuk dalam keadaan perang sekalipun. Inilah justifikasi mengapa sahih jika Satgas TKI menanggung beban yang utama menyelamatkan nyawa manusia.
Kausa Prima
Lepas dari salah atau tidaknya pelaku, lamban atau lekasnya respon pada TKI, sudahkah Negara benar-benar menjamin hak hidup warga negaranya di luar negeri sana? Tak elok jika negara hanya menatap kasus Ruyati dan sejumlah TKI yang terancam hukuman mati hanya dengan aktifitas mikro teknis litigasi ataupun mikro teknis permohonan amnesti. Apalagi hanya membentuk Satgas TKI yang tidak permanen.
Pokok masalah TKI bukan kisruh mikro-teknisnya tetapi sangat mungkin berpangkal dari stigma budak, pengabaian Negara, dan inflasi penghargaan hak-hak warna negara bangsa yang bernama Indonesia di luar negeri sana.
Itulah pentingnya membakar nasionalisme dan mempertahankan harga diri bangsa dalam konteks eksekusi Ruyati. Persis seperti bung Karno membakar nasionalisme bumi butera melawan hegemoni ekonomi dan kolonialisme-imperialisme Belanda yang eksploitatif.
Dalam pembacaan sejarah, tak cukup kuat sumber daya ekonomi rakyat bumi putera melawan hegemoni kolonial-imperialis Belanda dengan perlawanan mikro-teknis atau perlawanan dari sisi ekonomi pragmatis. Namun perlawanan ideologis dengan membakar nasionalisme melawan eksploitasi penjajahan alias kolonialisme-imperialisme tadi ampuh menghantam penjajah enyah dari bumi nusantara.
Kembali soal Ruyati. Kebanggaan hukum apakah yang hendak dicapai jika hanya menuding ketertutupan informasi mahkamah Saudi yang telah mengeksekusi Ruyati? Kemuliaan apa pula yang hendak diraih dengan membentuk Satgas TKI yang merekrut mantan pejabat tinggi negeri, jika tidak mengungkap kausa prima dan fakta-fakta derita Ruyati. Sehingga duduk perkaranya menjadi buram dan tidak otentik.
Tugas Satgas TKI menyelamatkan nyawa TKI bukan tidak penting. Tetapi jangan sampai Satgas TKI hanya ”pintu darurat” sesaat meredam opini publik yang bergejolak. Di sisi lain, Satgas TKI sudah mengambil alih harapan publik akan perubahan signifikan dan ideologis, bukan teknis-mikro pragmatis dalam urusan perlindungan TKI. Jika tidak, Satgas TKI hanya noktah biasa yang berlalu begitu saja dalam bingkai sejarah kelam perlindungan TKI.
Jika Satgas TKI akhirnya kandas, kepatuhan sipil manakah yang takkan tergerus jika negara gagal menyelamatkan begitu banyak jiwa manusia warga negaranya? Bayang-bayang itu bukan tanpa alasan, karena dalam kasus Ruyati tadi, ”kerja pemerintah tidak maksimal”, keluh aktifis Migran Care, Anis Hidayah.
Berkaca dari kasus Ruyati dan aneka ragam kasus sejenis, harusnya Pemerintah berhenti menganggap derita pekerja migran hanya sekitar sengketa teknis-mikro hubungan industrial semata-mata. Tak adil jika sekadar memahami nasib mereka secara teknis-mikro yuridis atau hanya pesakitan hukum berstatus terdakwa yang melakukan delik kriminal berat.
Kalaupun konon ada diberikan bantuan hukum oleh badan penempatan dan perlindungan tenaga kerja dengan dukungan satu asosiasi advokat, seperti apakah skema dan langkahnya agar tak hanya menyentuh aspek teknis-mikro litigasi saja. Tidaklah tepat jika kisruh problematika TKI hanya diperlihatkan sebagai masalah teknis yuridis, dengan menuding mahkamah pengadil di sana tidak transparan.
Derita eksploitasi pekerja migran bukan soal teknis-mikro hubungan industrial yang rentan dan timpang, akan tetapi lebih substantif-ideologis, yakni tidak adanya kebanggaan negeri ini membela dan melindungi warga negaranya yang ditabalkan ”pahlawan devisa” itu.
Ini soal kebangsaan dan majalnya sensitifitas serta penghargaan atas hak hidup terhadap anak bangsanya sendiri. Di titik inilah pelajaran membakar nasionalisme Indonesia versi bung Karno dapat diduplikasi membangkitkan harga diri TKI di luar negeri. Ini bukan diplomasi biasa. Bukan agenda litigasi biasa.
Historical Fact
Pembela hak asasi percaya hukum tak bisa ditegakkan dengan cara biasa-biasa saja. Mempercayakan tegaknya keadilan hanya pada teknis-mikro juridis tanpa sensitifitas dan heroik pembelaan yang otentik, hanya akan menghasilkan muara putusan yang formalistik. Jika menoleh kepada sejarah, hak kaum tertindas kerap diperjuangkan advokat tak cuma mengandalkan litigasi. Kuantumnya menembus prosedural formil atau hukum acara yang kaku dan usang.
Masih ingat tatkala sekitar tahun 1902, Mr. J. Van den Brand, seorang advokat di Deli saat itu membuat laporan pelanggaran hak-hak kuli kontrak ke parlemen Belanda. Sang advokat itupun tak hanya percaya dengan litigasi. Dia melayangkan laporan investigatif bertitel “Millioenen uit Deli” yang terang-terangan menyoal praktik haram dan nir-etis penghisapan manusia atas manusia. Atas ribuan kuli kontrak yang memerah keringat dan meneteskan darah membangun kebun-kebun di Hindia Belanda. Laporan itupun mengguncang penguasa di negeri Belanda.
Jika hendak belajar dari kasus Ruyati, mari memutar bandul sejarah buram negeri ini dari masa penjajahan Belanda. Kaum bumi putera leluhur negeri ini pernah mengalami derita dengan terbitnya ordonansi kuli, yang tak lain hukum kolonial yang menjatuhkan “poenale santie” kepada para kuli kontrak asal Jawa, Sunda dan Cina. Tenaga, keringat dan darah kuli kontrak seakan hanya didermakan untuk kapitalis kolonialisme saat itu.
Rakyat pribumi dilecut dengan ordonansi kerja paksa nyaris tanpa perlindungan hak-haknya. Hukum yang seperti itu hanya menyisakan berjuta derita buruh-buruh perkebunan besar asal Jawa yang direkrut massal seperti isu kuli kontrak di Deli, Sumatera Timur atau Sumatera Utara sekarang ini. Prof Jan Breman, dari Universitas Amsterdam dalam Koelies, Planters en Koloniale Politiek (1987), menuliskan diantara kuli kontrak perempuan yang didatangkan ke Deli masih anak-anak gadis belia usia, antara 10-14 tahun. Anak-anak dan buruh anak pun terperah di zaman kelabu poenale sactie itu.
Dalam versi laporan Van den Brand terkuak beberapa ratus perempuan tak bersuami utamanya gadis muda belia bawah umur dari pelosok Jawa dan Sunda dikirim ke Sumatera Timur oleh pengusaha perkebunan untuk memenuhi syahwat kuli lelaki. Novel sejarah-hukum versi Emil W. Aulia (2006), yang merujuk karya Van den Brand, sengaja menampangkan kontrak kerja kuli anak-anak perempuan Jawa, umur 16 tahun bernama Sarina, dengan Pieter Voetblad, pengusaha perkebunan Tanah Kringet. Dari historical fact itu, terbayang betapa kucuran keringat dan darah para kuli kontrak Jawa Deli (jadel) yang mengalir jutaan gulden devisa hanya dari perkebunan tembakau Deli, yang ditamsil dulu bagai “pohon berdaun uang”.
Sepak terjang kuantum litigasi dilakonkan advokat Van den Brand, yang melayangkan laporan “Millioenen uit Deli” dan memperjuangkan ke negerinya sendiri, Belanda, mengajarkan betapa jalan meretas akar-akar eksploitasi yang tak bersumber dari tempat kerja. Akan tetapi bermula dari penguasa politik dan pembuat hukum di sana. Karena dia mafhum betapa hukum kerap tempat penyamaran kepentingan ekonomi dan politik, menyisihkan kepentingan rakyat dan keadilan.
Dalam situasi begitu tak bijak jika menangisi teknis-mikro litigasi yang tak transparan, seperti halnya keluh pejabat negeri ini menanggapi eksekusi Ruyati.
Jika bertanya kepada Van den Brand, mungkin dia menjawab formalisasi pembentukan Satgas TKI itu bukan solusi otentik. Apalagi diisi mantan pejabat yang dulunya pernah diberikan otoritas melindungi anak negeri. Mungkin Van den Brand berpesan, petiklah pancaran cara berfikir juridis dan historical factpembelaannya atas kuli kontrak.
Idem ditto dengan praktik eksploitasi zaman sekarang, perbudakan buruh anak jermal yang dipekerjakan di tengah laut sepanjang perairan pantai timur Sumatera Timur takkan beres jika dilihat secara teknis-mikro anak-anak miskin butuh pekerjaan saja.
Dengan upah sekadarnya, anak-anak muda belia yang miskin dan drop out sekolah itu memerah tenaga memutar katrol kayu penggulung tali-tali pengangkat jaring besar di bawah jermal. Bekerjanya di malam hari, dan saban kali ditengah guyuran hujan dan deru ombak. Tak jarang jermal ambruk, terpelanting ke bibir laut, ditelan ombak, dan buruh anak jermal pun hilang tingal nama.
Rekrutmennya? Sebagian mereka diculik, dan dipaksa bekerja ke jermal, termasuklah anak jalanan asal terminal Amplas, Medan. Isu buruh anak jermal beberapa kali mencuat menjadi agenda konfrensi perburuhan sedunia.
Advokasi yang mengungkap soal anak jermal itu nyaring dikumandangkan ke seantero belahan dunia, sehingga hukum perburuhan berubah untuk menghapuskan eksploitasi anak jermal. Lagi-lagi, untuk menghantam eksploitasi dan perbudakan anak jermal, tidak cukup hanya mengandalkan penanganan teknis-mikro litigasi, ataupun pelayanan teknis-mikro pemberdayaan ekonomi yang karikatif.
Begitu pula perihal isu perdagangan manusia (trafficking in persons) yang sekadar penjualan dan eksploitasi manunsia. Muskil jika otoritas Malaysia memosisikan mereka sebagai pelaku tindak pidana keimigrasian, karena masuk tanpa dokumen dan didakwa melanggar Imigration Act.
Malaysia dengan arogan dan sepihak menghukum cambuk korban perdagangan orang itu, yang menurut Protokol tentang Pemberantasan Perdagangan Orang, semestinya dilindungi, direhabilitasi, dan dikembalikan (repatriasi) ke Indonesia. Andai mengacu Protokol itu, mereka adalah korban (victim) dari praktek kejahatan transnasional perdagangan manusia yang mesti memperoleh perlindungan otoritas negara-negara di kawasan ini.
Cahaya sejarah
Paparan dimuka mengajarkan betapa sikap patriotisme dan litigasi kuantum pembelaan yang pro victim adalah cara dan strategi yang dipilih memotong berlanjutnya eksploitasi dan perbudakan manusia. Tak cukup hanya mengandalkan teknis-mikro litigasi atau penanganan kasuistik yang berorientasi memuaskan opini publik semata, akan tetapi menohok akar tunggang eksploitasi, yakni hukum yang hanya menuduh perbuatan pelaku sebagai kehendak otonom, tidak hirau dengan setting eksternal sosio-kultural yang memicunya. Apalagi hanya sekadar menyiapkan manual prosedur standar yang birokratis dari otoritas perlindungan TKI, dan hanya mengerti aspek teknis-mikro perlindungan tanpa disemangati motifasi ideologis dan gairah nasionalisme membela harga diri bangsa.
Semangat perlawanan ketidakadilan dan gairah nasionalisme bisa sedikit terpompa andai Presiden SBY mengirimkan tim investigasi yang mengaudit apa sesungguhnya yang terjadi dengan eksekusi Ruyati. Bukan sekadar langkah pragmatis yang menyarankan perbaikan teknis-mikro dan standar penempatan dan perlindungan, tanpa meninggikan nasionalisme kita sebagai bangsa yang bermartabat.
Mengutip pelajaran sejarah dan historical fact dari advokat Van den Brand membela kuli kontrak, tentu berguna dalam konteks perlindungan TKI yang terancam hukuman mati. Dengan pencahayaan sejarah, dapat membentuk cara berfikir dan strategi elegan para advokat maupun Satgas TKI dalam membela TKI yang terancam di tubir eksekusi.
Dalam sistem hukum manapun, sejarah peradilannya mempengaruhi pembentukan hukum masa depan, dan mempengaruhi akademisi hukum merancang substansi hukum yang adil. Adalah tugas ilmu hukum untuk membina dan membantu praktik hukum. Hukum yang memuliakan manusia. Sebaliknya praktik hukum membutuhkan pertanggungjawaban, dukungan ilmiah dan fakta-fakta sejarah hukum.
Termasuklah Satgas TKI maupun asosiasi advokat pembela TKI, dan siapapun juga. Tentunya tidak salah bercermin pada kuntum litigasi yang dilakonkan advokat Van den Brand, advokasi anak jermal, dan perlawanan ideologis bung Karno melawan kolonialis-imperialis yang eksploitatif. Demi mencegah melayangnya jiwa-jiwa tak berdaya dari ancaman hukuman mati.
Jika tidak, kebanggaan apa yang hendak dipertahankan jika negara gagal menghentikan ayunan pedang eksekutor?
Penulis: Muhammad Joni,
Ketua Peran Indonesia, Advokat/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas , Direktr Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum KAHMI.
Diterbitkan pada kolom Opini majalah IMPERIUM, Juli 2011.