Satire 1000 Sandal
Tak seperti tubuhnya yang ceking kerempeng, AAL, pelajar SMK Negeri 3 Palu yang dituduh mencuri sandal jepit milik Polisi, membuat berita besar di negeri ini. Dia didakwa hanya gara-gara sepele: berurusan dengan sandal seorang polisi. Tetapi urusan sandal pada tubuh dan pikiran AAL tak singkat dan tak mudah. Dia dijerat pasal pencurian dengan ancaman pidana penjara.
Kisah ini bermula pada November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan kos sang polisi berpangkat Briptu. Menegok ada sandal jepit tergeletak di jalam, ia kemudian mengambilnya. Rupanya, sandal itu menjadi soal besar pada perjalanan hidup AAL.
Suatu waktu pada Mei 2011, Briptu polisi itu kemudian memanggil AAL dan temannya. Menurut warta media, selain diinterogasi, AAL juga dipukuli dengan tangan kosong dan benda tumpul. Singkat cerita, kasus ini bergulir ke pengadilan dengan mendudukkan AAL sebagai terdakwa pencurian sandal. Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan diancam 5 tahun penjara (lihat DetikNews, “Sidang Pencurian Sandal Jepit Kembali Digelar, Hakim Diharap Adil”, Rabu, 04/01/2012 10:20 WIB).
Tak heran jika pentas lakon ini panjang dan berliku: bermula dari Kepolisian dan Kejaksan Negeri Palu, dan harus bermuara ke meja hijau Pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah. Kasus sepele itu-pun tak terbendung masuk ke dalam arus proses hukum di pengadilan. Merasa tak pantas dan janggal atas prosespro justisia kasus AAL, anak itupun kebanjiran dukungan.
Rasa keadilan tersayat karena, publik menilai, kasus sandal itu tak terlalu istimewa dibanding kasus besar yang berseliweran dimana-mana. Dari kantor KPAI di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, aktifis hak anak tanpa komando dan nirpamrih menggelar gerakan mengumpulkan 1000 sandal. Lebih tepat sindiran atau satire atas peradilan AAL. Tak terduga, gerakan moral itu mendapat perhatian luas media, tokoh nasional dan bahkan media luar negeri. Satire seribu sandal itu tangguh melawan penghukuman. Sandal menjadi simbol melawan penghukuman, la lotta contra la pena.
Satire 1000 sandal jepit menyodok alam pikiran penganut ajaran hukum positivistik, bahwa janganlah sekali-kali mengabaikan keadilan dengan dalih hukum formal yang kering keadilan substantif. Ironis dan menyayat rasa keadilan jika mengambil sandal jepit diadili. Instalasi dan investasi penegakan hukum terlalu mulia dan mahal hanya untuk mengadili kasus sandal.
Apa pesan dari 1000 sandal? Selain meragukan hukum tanpa keadilan substantif, ruh dari satire itu meragukan hukuman pidana penjara (straft) untuk anak muda belia, malah lebih dari itu mendorong pengapusan penjara anak. Idemditto, tak percaya lagi dengan efektifitas penjara bagi memperbaiki anak.
Hampir mirip dengan pikiran Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang mengusulkan agar koruptor dipermalukan di hadapan publik. Salah satunya dengan ditempatkan dalam sebuah kebun bagi koruptor yang serupa dengan kebun binatang. “Saya usul agar koruptor jangan dibikin takut, tapi dipermalukan. Misalnya, dibuat kebun bagi koruptor,” kata Mahfud seusai acara Silaturahim Antikorupsi di Gedung Juang, Jakarta, Minggu (27/11/2011).
Pandangan itu adalah kritik dan sekaligus dekonstruksi terhadap efektifitas pidana penjara. Tatkala mengajukan pengujian material alias judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, penulis juga menggunakan dalil itu, bahwa penjara tidak efektif untuk perbaikan anak didik pemasyarakatan.
Saat itu, selaku kuasa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), menggugat konstitusionalitas 6 pasal UU Pengadilan Anak. Hasilya, dikabulkan sebagian. Usia tangggungjawab pidana anak ditingkatkan menjadi 12 tahun. Bisa mencegah periode 4 tahun usia anak-anak dari jerat pidana.
Sebelum Putusan MK itu, usia tanggungjawab pidana anak (the age of criminal responsibility) adalah 8 tahun. Batas usia versi UU Pengadilan Anak itu dikritik Komite PBB tentang Hak anak sebagai tertalu rendah (too short). Bandingkan saja dengan anak yang bekerja atau pekerjaan yang dilarang sama sekali pada anak. Anak diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan (light work) berdasarkan pasal 69 ayat (1) UU Ketenagakerjaan pada usia 13 s.d 15 tahun. Bahkan jauh lebih lebih rendah dari usia larangan pekerjaan terburuk (the worst form of child labor), berdasarkan Pasal 74 UU Ketenagakerjaan pada usia dibawah 18 tahun.
Belum lagi situasi buruk yang dialami anak di penjara anak. Makanan masih menjadi persoalan yang belum berkesudahan. Akibatnya, pemenjaraan anak mengancam hak atas makanan sebagai hak tumbuh kembang anak. Pernah diwartakan, Pemerintah berhutang Rp.80 Miliar untuk makan napi di seluruh LP di Indonesia.
Padahal, Minimum Standar Rules tentang Perlakuan terhadap Narapidana, masalah hak atas makan menjadi perhatian, termasuk kecukupan gizi, kalori dan cara menyajikannya.
Kritik atas efektifitas pidana penjara dikumandangkan juga oleh ahli hukum pidana R.M. Jackson. Menurut dia, pidana penjara relatif kurang efektif menekan tidak berulangnya perbuatan pidana. Angka rata-rata residivis (bagi yang pertama kali melakukan tindak pidana) berbanding terbalik dengan usia pelaku. Ahli hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan, rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan. Richard Posner melihat tidak efektif pidana penjara dari segi ekonomi, karena pidana denda mengandung nilai yang tidak ditemukan pada pidana penjara sehingga lebih menguntungkan daripada pidana penjara. Biaya sosial pidana penjara lebih besar.
Phil Dickens, tak percaya lagi sama lembaga penjara. “The idea that prisons serve to reform criminals is a nonsense. Pendapat itu sejalan Fifth United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders Report. Pada umumnya diakui mekanisme peradilan dan kepenjaraan (the judicial and prison mechanism) mempunyai pengaruh kondusif timbulnya kejahatan dalam hal tertentu menciptakan karir-karir penjahat.
Penjara anak juga demikian, tak efektif mengubah keadaan anak. Lebih baik digantikan dengan perawatan dan pengembagan anak. Menurut Seto Mulyadi, selama ini citra penjara anak negatif sehingga begitu keluar dari penjara anak dicap kriminal.
Perlakuan yang tepat pada anak yang berhadapan dengan hukum, bukan penjara, melainkan Tindakan (maatregelen). Sayangnya, Tindakan belum menjadi prioritas. Pidana penjara masih mendominasi putusan pengadilan (diatas 70 persen), walaupun hakim bisa saja menjatuhkan vonis Tindakan yang lebih mampu merestorasi anak berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu, perlu ada reformasi pada sistem peradilan anak yang diawali dengan mengubah batas usia tanggung jawab pidana anak.
Undang-Undang Pengadilan Anak justru tak mengandung norma yang mengutamakan Tindakan namun memberi peluang yang sama dikenakannya Pidana. Padahal anak bukan pelaku tindak kejahatan yang otentik. Anak melakukan perbuatan terlarang karena setting sosial, ekonomi, dan hukum sehingga anak menjadi pihak yang dikriminalkan.
Keraguan pada pidana penjara sebagai sistem hukuman juga terlihat dalam politik hukum saat ini. Jika melakukan telaah sistem hukuman dalam Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d RUU Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPPA), yang secara limitatif menentukan jenis pidana pokok yakni pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat (social services), latihan kerja sosial, pidana pengawasan, pembinaan dalam lembaga sebagai bentuk pidana pokok.
Dengan makin diperluasnya jenis hukuman selain pidana penjara, indikasi nyata tidak efektifnya pidana penjara dan menguatkan dugaan delegitimasi pidana penjara dalam sistem hukuman.
Kendati demikian, jenis pidana dalam Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d RUU SPPA itu tak tepat jika dikualifikasi pidana (straft). Semestinya, pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat (social services), latihan kerja sosial, pidana pengawasan, pembinaan dalam lembaga, dikualifikasi sebagai Tindakan (maatregelen) bukan Pidana. Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d RUU SPPA salah kaprah. Mengapa? Karena sanksi pidana itu secara kua-teknis-sosiologis sebenarnya tidak lain adalah Tindakan, bukan Pidana (straft).
Sejalan dengan itu, perkembangan pemikiran hukum pidana dewasa ini mengarah pada abolisi pemidanaan untuk menderitakan pelakunya. RUU KUHP dengan sadar memasukkan Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan yang diarahkan untuk memandu penegak hukum memahami falsafah pemidanaan yang tidak bermaksud menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Pemidanaan bukan nirkemanusiaan.
Pemidanaan bukan balas dendam. Sistem hukuman dalam RUU KUHP mengadopsi hukuman pidana kerja sosial, pidana pengawasan, denda, yang melengkapi alternatif pidana penjara. Perkembangan pemikiran itu mengarah kepada delegitimasi pidana penjara. Beralasan jika mengusung menghapuskan penjara anak.