Satu IDI: Infinity Rules

Oleh : Muhammad Joni, S.H., MH.

Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional dan Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.

Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis. Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua, bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 62 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.

*

Ujian kedua sudah dilaksanakan optimal. Dari kelugasan Prof. IOM, PB IDI mengemban 3 (tiga) misi dibalik jejak melaju ke Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak kucuran hikmah lanjutan “IOM’s Effect” dari inci demi inci perjuangan menjaga Satu IDI dalam persidangan MK perkara Nomor 10/PUU-XV/2017.

Tikungan sejarah berhasil dilampui. MK berseru bahwa IDI tetap satu. IDI rumah besar profesi kedokteran. Bersama IDI di dalamnya ada perhimpunan dokter spesialis, dan kolegium kedokteran. Dalam satu tubuh berhimpun PB IDI, MKKI, MPPK, MKEK dalam IDI sebagai struktur kepemimpinan tingkat pusat, yang masing-masing mempunyai tanggungjawab sesuai tugasnya, mengonfirmasi kesahihan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a AD IDI.

Kiranya statuta ikhwal Satu IDI “naik kelas” karena sekarang sekufu alias setara kaidah hukum yang legal reasoning-nya dipetik dari putusan MK dalam perkara aquo. Norma Satu IDI dalam AD IDI itu telah menjadi keadaan kesadaran kolektif profesi kedokteran, yang jika meminjam ajaran sosiolog Emile Durkheim, telah menjadi fakta sosial yang konform bukan hanya kesamaan pola dalam statistik kelakuan paling banyak.

Artinya, bukan karena diikuti paling banyak lantas menjadi moral sosial, namun karena kandungan nilai moral idealnya. Boleh dikatakan, Satu IDI menjadi kosakata penting dalam sosiologi praktik kedokteran. Satu IDI menjadi nilai moral ideal praktik kedokteran, bukan karena diikuti paling banyak dalam statistik sifat dan kelakuan organisasi.

Narasi Satu IDI diambil alih menjadi rujukan pertimbangan pokok permohonan butir [3.13.3] dari putusan MK. Substansi ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a AD IDI itu menjadi kaidah yang bersesuaian dengan pertimbangan MK dan menjadi norma statuta Satu IDI yang kuat basis konstitusionalnya.

Masih dalam pertimbangan pokok permohonan butir [3.13.3] dari putusan MK, menyatakan bahwa pengaturan mengenai kegiatan internal organisasi yang berkaitan dengan bidang pendidikan kedokteran menjadi tanggung jawab Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Narasi ini idemditto dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf e AD IDI.

Pun demikian halnya perihal Satu IDI, yang merupakan satu-satunya organisasi profesi kedokteran di Indonesia, sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1) AD IDI memiliki konformitas dengan putusan MK. Dalam pertimbangannya, MK mengakui pilihan historis-sosiologis-organisatoris-yuridis yang diambil IDI sebagai rumah besar profesi kedokteran.

Eksplisit MK berpendapat bahwa Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI. Sebagai rumah besar dokter Indonesia, IDI mewadahi profesi kedokteran dari berbagai disiplin ilmu.

Pun, infinity rules Satu IDI itu bersesuaian dengan UU 29/2004 sebagaimana Ketentuan Umum Pasal 1 angka 12 yang mendefenisikan “Organisasi Profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi”. Hal mana bersesuaian pula dengan Putusan MK No. 88/PUU-XIII/2015 yang mengukuhkan konstitusionalitas Pasal 55 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan yang menormakan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi. Hemat saya, justru Putusan MK yang mengukuhkan konstitusionalitas norma Pasal 55 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan berpangkal dari norma Satu IDI, walau Pasal 55 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan yang lebih awal diajukan judicial review.

Menarik mengulas pendapat Dr. Suharizal, S.H., M.H., bahwa kemauan pembentuk UU 29/2004 menginginkan IDI sebagai subjek hukum. Artinya, pengakuan IDI sebagai organisasi profesi dokter dijustifikasi UU 29/2004, dan terkonfirmasi dalam pertimbangan pokok permohonan dari putusan MK.

Masih menurut Dr. Suharizal, S.H., M.H. bahwa “dengan adanya satu organisasi dokter otomatis dapat diberlakukan satu standar pelayanan bagi dokter, satu kode etik serta pengembangan kualitas dan pengawasan yang sama atas semua dokter oleh satu organisasi dalam menjalankan praktik kedokteran”.

Selain justifikasi yuridis itu, mari merujuk pendapat Reno Rafly, M.S. yang dalam analisis negasi mengemukakan alasan mengapa satu IDI? Sebab, menurut dia “…adanya lebih dari satu organisasi akan berbahaya karena potensi dalam menciptakan ambiguitas dalam “standar dan kompetensi profesional”, tidak ada “single source of truth” atau “satu sumber kebenaran”, dan tidak ada akuntabilitas yang jelas”.

Dengan putusan MK aquo, hemat saya beralasan jika IDI, Muktamar dan segenap dokter anggota IDI menyikapi ini dengan meneguhkan AD IDI yang menormakan Satu IDI yang disebutkan sebagai rumah besar profesi kedokteran, merupakan norma AD IDI yang permanen dan dianut sebagai norma tak berbatas (infinity rules). Yang acapkali menjadi acuan, benchmark, dan rujukan organisasi profesi lain di Indonesia. Mengokohkan norma Satu IDI sebagai infinity rules bagi IDI, menjadi peraturan yang mutlak bagi IDI.

Satu IDI itu inheren dengan jejak dan latar sejarah kelahiran IDI, yang tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang memiliki nilai-nilai profesionalisme, integritas etik dan moral, pengabdian, independensi serta kesejawatan untuk melakukan upaya-upaya memajukan, menjaga dan meningkatkan harkat martabat dokter Indonesia serta menjadi bagian dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Pun demikian, bersesuaian dengan misinya dalam penyelenggaraan praktik kedokteran di Indonesia wajib mendasarkan pada empat kaidah dasar moral yakni, menghormati martabat manusia (respect for person), berbuat baik (benefience), tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice), seperti pertimbangan pokok permohonan dari putusan MK. Guna memastikan Single Source of Truth profesi kedokteran menjalankan praktik kedokteran. Guna mencegah organisasi profesi kedokteran kembar.

Tersebab itu, sebagai “sahabat dokter” perkenankan patik mengusulkan norma Satu IDI sebagai infinity rules ke dalam Mukaddimah AD IDI dan pasal AD, yang hanya diubah dengan “referendum” yang diusulkan dan disetujui dua per tiga jumlah anggota. Lebih dari sekurangnya dua per tiga jumlah cabang IDI seperti ketentuan Bab XI, Pasal 27 AD IDI hasil Muktamar XXIX tahun 2015.

Sebab, dengan kaidah dalam putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 dan latar belakang, semangat gerakan Boedi Oetomo 1928, semangat persaudaran dokter Indonesia, dan darma bakti dokter untuk kehidupan masyarakat yang sejahtera sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1), walau nyaris tak mungkin, namun kiranya legalisasi pasal pembubaran IDI patut semakin diperketat.

Kiranya, dari penginderaan saya dengan mata dan “mata” yang lain, hal itu adalah kebutuhan dan suasana batin profesi dokter yang setuju tak akan mengubah takdir Satu IDI. Yang sekaligus langkah gren strategis dan menjadi tonggak mengapa kompetensi profesi kedokteran terus menerus meningkatkan dan mengembangkan kemajuan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills), serta sikap (attitute).

Dalam pertimbangannya ikhwal wewenang IDI atas sertifikat kompetensi dan resertifikasi dokter, MK mengamini program pengembangan dan pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB). Walaupun kompetensi itu berat, namun itu kewajiban profesi (professional imperative) yang tanpa batas dan bahkan melampauinya.

Memastikan kompetensi profesi kedokteran, pun melalui P2KB yang jejaknya ada dalam putusan MK, jika disebutkan dalam tiga kata bagaikan: “To Infinity and Beyond”, meminjam kutipan favorit Buzz Lightyear dalam film ‘Toy Story’. Tabik. (Bersambung #63).

Leave a Reply