Satu IDI, IOM’s Effect
Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional dan Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran, .
Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis.
Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua, bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 3 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.
**
Majelis pembaca. Ijinkan saya menurunkan bunyi pesan Prof. IOM per tanggal 20 Februari 2017, jam 19.40 WIB, berikut ini: “Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh. Yth. Muhammad Joni. Bersama ini saya kirimkan JR UU Pradok 2004 oleh 32 dokter dan Risalah Sidang I MK. Surat undangan kepada bapak akan dikirim oleh bu Dien, untuk menyampaikan pandangan hukum pada rapat pleno PB IDI pada hari rabu, tanggal 23/2/2017 y.a.d. Tkb. Wass. IOM”.
Membaca pesan itu, saya mengambil simpulan, rupanya PB IDI sudah sensitif dan responsif atas judicial review. Soft copy naskah permohonan dan Risalah Sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017. Acara Pemeriksaan Pendahuluan (I), Kamis, 9 Februari 2017 sudah diperoleh, bahkan bereaksi siap siaga merancang perlawanan. Menyusul pesan Prof. IOM itu, berkali-kali saya membaca lagi dan mencermati dengan seksama percakapan WhatsApp itu.
Hari itu saya ada rapat sampai malam dan bisa tak segera menjawab pesan Prof. IOM. Baru jam 22.11 WIB, masih hari dan tanggal yang sama, respon atas pesan penting itu saya segerakan. “Waalaikumsalam pak Ketum. Siap dijadwalkan hadir”, jawab saya ringkas. Tak menunggu lama pesan itu dijawab lagi Prof. IOM: “Tkb bpk Joni. Wass”.
Percakapan dengan Prof.IOM itu masih tersimpan sebagai fakta digital, yang berguna untuk literasi alkisah advokasi perjuangan konstitusional Satu IDI, sebagai jejak-jejak “ujian kedua”. Menjadi noktah dari tarikh penting perjuangan IDI mempertahankan takdir Satu IDI. Mulai dari jejak awal tindakan “CITO” yang didukung segenap jajaran PB IDI.
Ternyata kemudian, sidang-sidang MK dalam perkara ini selalu ramai dihadiri dokter anggota IDI yang mengenakan jas hijau khas IDI. Jamak senior IDI turut diminta pendapat dalam rapat-rapat, yang terbit sebagai dedikasi dan kontribusi memperkayai substansi yang bermutu tinggi, diskusi yang bertenaga dan riuhnya bergelora bahkan sampai ke media sosial dunia maya.
Suasana terbangun dinamis dan senantiasa merawat optimis. Tim kerja “tanggap darurat” yang bergerak cepat melakoni protokol terapeutik intensif. Rapat substansi dan strategi advokasi acap digelar di pangkalan IDI Jalan Samratulangi 29 (Samrat 29).
Jajaran PB IDI begitu sigap. Aura perjuangan dan persaudaraan dokter terasa denyutnya tak hanya di lokus Samrat 29 markas IDI, pun menyeruak sampai ke wilayah dan cabang. Terbukti dengan banyak kalangan dokter hadir kala masa sidang-sidang di MK, dari jamak daerah, dari jamak perhimpunan. Dr. Pranawa, Sp.PD-KGH beberapa kali datang dari Surabaya. Dr. Hadi Wijaya, M.PH., M.H.Kes., tak sanggup menghalangi hasrat kalangan dokter dari Tangerang, Propinsi Banten memberi dukungan.
Jamak saksi dan ahli yang berkelas siap sedia didatangkan dan tampil sidang, tak hanya dari kalangan dokter tapi ahli hukum tata negara yang senior dan yang relatif muda namun bersinar, ahli manajemen dan ahli perilaku organisasi (organization behavior), semuanya bergeliat mengemban misi tunggal meyakinkan hakim konstitusi agar mempertahankan konstitusionalitas norma Satu IDI dalam UU 29/2004 dan UU 20/2013 yang tengah diujikan.
Prof. IOM menyebut badai cobaan untuk “ujian kedua” dan “ujian pertama”. Banyak badai lain yang dilalui dramatik periode kepemimpinan 3 tahunnya, diantaranya pendidikan kedokteran layanan primer, juga kontroversi peran dokter dalam pelaksanaan kebiri kimia. Namun IDI mempertahankan corak lugasnya sebagai Organisasi Profesi. Inikah refleksi dari sikap lugas captain of the team. Kiranya lapangan perjuangan Satu IDI itu menjadi tanah gembur (terbenihnya) IOM’s Effect?
Awalnya saya memberikan tanda tanya pada frasa “Effect” itu, namun menengok badai pun berlalu, yang dihadapi dengan terorganisir rapi dan bergeraknya elemen struktural IDI karena lugas pilot in command, kini tanda tanya itu saya pikir sudah tak diperlukan lagi. Menjadi IOM’s Effect. Tanpa tanda tanya. Tabik. (Bersambung#4).
Muhammad Joni, S.H., MH.