Satu IDI Paska Putusan MK

Satu IDI paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 itu merupakan konformitas bahwa Satu IDI itu norma yang konstitusional. Satu IDI, maksudnya IDI yang terintegrasi dalam “satu tubuh” dan jiwa IDI termasuk kolegium dan perhimpunan dokter spesialis.

Mengapa ada judul ‘Satu IDI Paska Putusan MK’? Sebab, ada 31 dokter anggota IDI yang mengajukan uji materil (Judicial Review) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Prakdok”) dan UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (“UU Dikdok”). Yang menghendaki agar MK memberi tafsir hukum bahwa kolegium pun demikian perhimpunan dokter spesialis dimaknai sebagai organisasi profesi.

Dengan putusan MK Nomor 10 aquo, terbukti Satu IDI itu konstitusional. Menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam ketentuan a quo. Perhimpunan Dokter Spesialis dengan sendirinya merupakan bagian dari IDI. Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI.  IDI sebagai rumah besar profesi kedokteran, yang di dalamnya dapat membentuk kolegium-kolegium.

Sebenarnya  Satu IDI sudah dinormakan dalam Pasal 1 angka 12 UU Prakdok. Memasukkan IDI dalam Ketetuan Umum atau intrepretation clause UU Prakdok menunjuk politik hukum yang jelas dan lugas serta legalisasi kewenangan IDI yang lebih awal dilahirkan dari UU Prakdok. Tafsir norma Organisasi Profesi, untuk dokter eksplisit disebut Ikatan Dokter Indonesia. Dengan karakter I., D., I., huruf kapital. UU Prakdok memiliki maksud asli (original intens) dan memberi kewenangan tertentu dalam UU Prakdok.  Pun demikian dalam Anggaran Dasar (AD) IDI Pasal 9 ayat (1).

Namun, ada berbagai tikungan sejarah yang menghendaki maksud yang lain. Menjadi gerusan desrupsi Satu IDI, dengan diujinya UU Prakdok  termasuk Pasal 1 angka 12, oleh 31 dokter.  Walaupun akhirnya dengan perjuangan PB IDI dibawah kepemimpinan Ketua Umum Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG. (K), eksistensi Satu IDI sah-konstitusional dengan Putusan MK Nomor 10 aquo. Satu IDI tetap lestari dan menurut saya menjadi aturan norma yang berlaku tak berbatas (Infinity Rules) bagi profesi kedokteran.

Putusan MK Nomor 10 aquo adalah  “ujian kedua”. Sebab sebelumnya IDI menghadapi dan memenangkan “ujian pertama” tatkala berhasil dalam Judicial Review UU Tenaga Kesehatan (UU Nakes), yang dalam sekelumit pasalnya menormakan dokter dan dokter gigi sebagai Tenaga Medis  mutan menjadi Tenaga Kesehatan. Itu jurus pertama.  Dengan mendefenisikan  dokter dan dokter gigi  dinormakan sebagai Tenaga Kesehatan, maka dibuat pasal yang membentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). Selanjutnya  tugas dan fungsi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dialihkan kepada KTKI.  Pengalihan tugas dan fungsi itu sama  dengan membubarkan KKI.

Syukur.  Ikhtiar IDI, PDGI, dan KKI, serta Dr. Muhammad Adib Khumaidi, Sp. OT dan Salamuddin, SE.,  pasal dalam UU Nakes yang menormakan dokter  sebagai Tenaga Kesehatan dan norma pengambilalihan tugas dan fungsi KKI, dibatalkan MK dengan putusan Nomor 82/PUU-XIII/2015.

Amarnya, “Menyatakan Pasal 11 ayat (1) huruf a, Pasal 11 ayat (2), Pasal 90, Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikatArtinya, dokter tetap menjadi  Tenaga Medis.  KKI gagal bubar.  IDI, PDGI, dan KKI  lulus dari “ujian pertama”.

Sebelum Putusan MK

Putusan MK Nomor 10 maupun Putusan Nomor 82 aquo bukan tikungan sejarah pertama dan kedua bagi IDI. Mari menelaah tahap-tahap terkait  Satu IDI.  Sebut saja:  sebelum  UU Prakdok  (Tahap 1), sejak  UU Prakdok (Tahap 2), sejak-setelah  UU Dikdok  dan UU Nakes (Tahap 3),  setelah putusan MK Nomor 82 (Tahap 4), setelah putusan MK Nomor 10 (Tahap 5).

Berikut ini narasi ringkasnya.  Sebelum UU Prakdok (Tahap 1), sudah ada dan diakui wadah tunggal IDI, “lisensi” melakukan praktik kedokteran dengan rezim Surat Izin Dokter (SID), registrasi profesi dokter berbasis administrasi (administrative base).

Sejak UU Pakdok (Tahap 2),  menciptakan norma (normcreating)  Satu IDI dengan UU. Bergeser dari rezim SID ke Surat Tanda Registrasi (STR) yang berbasis kompetensi (competency base), dibentuknya state auxiliary body bernama KKI.  UU Prakdok adalah produk dari reformasi hukum.

Sejak UU Dikdok dan UU Nakes (Tahap 3),    Organisasi Profesi  untuk dokter, tidak eksplisit disebutkan IDI, namun yang diakui oleh Pemerintah (Pasal 1 angka 20 UU Dikdok). Idemditto, UU Nakes tidak mendefenisikan jelas dan eksplisit Organisasi Profesi. Tidak  ada norma kolegium dalam UU Dikdok, artinya kolegium kedokteran bukan domien pendidikan profesi kedokteran dalam UU Dikdok, namun UU Dikdok menormakan uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter. Dengan UU Nakes, dokter & dokter gigi dikualifikasi Tenaga Kesehatan (Pasal 11 ayat 2).

Setelah Putusan MK Nomor 82, dokter dan dokter gigi dipulihkan lagi sebagai Tenaga Medis. Pasal-pasal kelembagan KKI yang diambil alih ke KTKI dinyatakan  bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mebikat. KKI gagal dibubarkan. Setelah Putusan MK Nomor 10, Satu IDI sah-konstituional. Kolegium dan perhimpunan dokter spesialis  bagian IDI.

Dari Gerusan ke Konformitas: Analisis Putusan MK

Dengan ulasan ringkas norma keberadaan Organisasi Profesi untuk dokter adalah IDI, dokter sebagai Tenaga Medis, dan gagal bubarnya KKI, adalah fakta bahwa Satu IDI mengalami “ujian” yang kua-eksitensial adalah gerusan Satu IDI. Namun, dengan Putusan MK Nomor 10 Jo. Putusan MK Nomor 82, Satu IDI menjadi kokoh dan memiliki konformitas secara yuridis-konstitusional. Putusan MK aquo menjadi kaidah hukum bahwa Satu IDI dan apapun yang hendak menggerus Satu IDI, hemat saya adalah vis a vis dengan kaidah hukum dari Putusan MK aquo.

Pun demikian, apapun yang hendak memisahkan kolegium dari IDI, dan menceraikan perhimpunan dokter spesialis dari IDI, adalah bagian luar dari kaidah hukum Putusan MK Nomor 10 aquo. Pun demikian, andaikan  keberadaan kolegium kedokteran (yang merupakan domein profesi kedokteran) yang hendak ditarik ke dalam domein perguruan tinggi, idemditto bagian luar dari kaidah hukum Putusan MK Nomor 10 aquo.  Artinya, hal itu tidak merujuk Putusan MK Nomor 10 aquo.   Sekali lagi, cermatilah Putusan MK Nomor 10, dalam pertimbangannya  Mahkamah berpendapat bahwa Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI. Dari gerusan atas eksistensi IDI, menjadi konformitas Satu IDI.

Infinity Rules

Satu IDI itu bersesuaian dengan UU  Prakdok  Pasal 1 angka 12 yang mendefenisikan “Organisasi Profesi  adalah  Ikatan Dokter Indonesia  untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi”.  Hal mana bersesuaian pula dengan Putusan MK No. 88/PUU-XIII/2015 yang mengukuhkan konstitusionalitas Pasal 55 ayat (2) UU Nakes  yang menormakan  setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.  Justru Putusan MK yang mengukuhkan konstitusionalitas  norma Pasal 55 ayat (2) UU Nakes  berpangkal dari norma Satu IDI, walau lebih awal diajukan judicial review.

Menarik mengulas pendapat  Dr. Suharizal, S.H., M.H., bahwa kemauan pembentuk UU Prakdok  menginginkan IDI sebagai subjek hukum. Artinya, pengakuan IDI sebagai organisasi profesi dokter dijustifikasi UU Prakdok  dan terkonfirmasi dalam pertimbangan pokok permohonan dari putusan MK.

Masih menurut  Dr. Suharizal, S.H., M.H. bahwa “dengan adanya satu organisasi dokter otomatis dapat diberlakukan satu standar pelayanan bagi dokter, satu kode etik serta pengembangan kualitas dan pengawasan yang sama atas semua dokter oleh satu organisasi dalam menjalankan praktik kedokteran”.

Selain justifikasi yuridis itu, mari merujuk pendapat Reno Rafly, M.S. yang dalam analisis negasi mengemukakan alasan mengapa satu IDI? Sebab, menurut dia  “…adanya lebih dari satu organisasi akan berbahaya karena potensi dalam menciptakan ambiguitas dalam “standar dan kompetensi profesional”, tidak ada “single source of truth” atau “satu sumber kebenaran”, dan tidak ada akuntabilitas yang jelas”.

Dengan putusan MK Nomor 10 aquo, hemat saya beralasan Muktamar IDI meneguhkan  norma Satu IDI yang disebutkan  sebagai rumah besar profesi kedokteran, merupakan norma AD  IDI yang permanen dan dianut sebagai norma tak berbatas (infinity rules). Yang  menjadi acuan, benchmark,  dan rujukan organisasi profesi lain di Indonesia. Mengokohkan norma Satu IDI sebagai  infinity rules bagi IDI.

Satu IDI  itu  inheren dengan jejak dan latar sejarah kelahiran IDI, yang tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang memiliki nilai-nilai profesionalisme, integritas etik dan moral, pengabdian, independensi serta kesejawatan untuk melakukan upaya-upaya memajukan, menjaga dan meningkatkan harkat martabat dokter Indonesia serta menjadi bagian dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Pun demikian, bersesuaian dengan misinya dalam  penyelenggaraan praktik kedokteran di Indonesia wajib mendasarkan pada empat kaidah dasar moral yakni, menghormati martabat manusia (respect for person), berbuat baik (benefience), tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice), seperti pertimbangan pokok permohonan dari putusan MK. Guna memastikan Single Source of Truth profesi kedokteran menjalankan praktik kedokteran. Guna mencegah organisasi profesi kedokteran kembar.

Rangkuman Pertimbangan MK

Dalam hal mempertimbangkan norma Organisasi Profesi dalam UU Prakdok, Putusan MK Nomor 10 aquo merumuskan pertimbangan.  Berikut ini rangkumannya:

  • Menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam ketentuan a quo. Perhimpunan Dokter Spesialis dengan sendirinya merupakan bagian dari IDI.
  • IDI sebagai rumah besar profesi kedokteran diisi berbagai bidang keahlian kedokteran yang di dalamnya juga meliputi Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai salah satu unsur yang menyatu dan tidak terpisah dari IDI.
  • Justru apabila logika permohonan para Pemohon diikuti akan timbul ketidakpastian hukum karena dalam praktik menjadi tidak jelas pada saat bagaimana atau kapan organisasi profesi dimaksud dimaknai sebagai IDI dan pada saat bagaimana atau kapan organisasi profesi dimaknai sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis.
  • Mahkamah berpendapat bahwa undang-undang memungkinkan masing-masing kelompok tenaga kesehatan membentuk kolegium berdasarkan disiplin ilmu masing-masing.
  • Dalam struktur IDI pun berdasarkan AD/ART IDI kolegium-kolegium yang berhimpun dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan salah satu unsur dalam struktur kepengurusan IDI ditingkat Pusat yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran.
  • Dengan demikian maka Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia merupakan unsur dalam IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu masing-masing.
  • Oleh karena itu, IDI dalam hal ini berfungsi sebagai rumah besar profesi kedokteran yang di dalamnya dapat membentuk kolegium-kolegium untuk melaksanakan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AD/ART IDI.
  • Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI.
  • Sebagai rumah besar dokter Indonesia, IDI mewadahi profesi kedokteran dari berbagai disiplin ilmu.
  • Dengan demikian, setiap unsur dalam IDI memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan AD/ART IDI.
  • Kolegium Kedokteran Indonesia/Majelis Kolegium kedokteran Indonesia merupakan unsur dalam IDI yang bertugas untuk melakukan pengaturan dan pembinaan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran.
  • Dalam melakukan fungsi ini, Kolegium/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia tetap berkoordinasi dengan berbagai unsur terkait baik di dalam maupun di luar IDI untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia yang juga menjadi tujuan pembentukan IDI melalui penyelenggaraan pendidikan kedokteran.
  • Dengan demikian, terkait penyelenggaraan pendidikan kedokteran, sebagaimana juga disebutkan dalam AD/ART IDI, merupakan fungsi Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia sebagai salah satu unsur dari IDI yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan kedokteran.
  • Tidaklah berlebihan bila menempatkan Kolegium/Majelis Kolegium sebagai academic body profesi kedokteran.
  • Berkenaan dengan adanya disharmoni perihal kolegium sebagaimana dimaksudkan dalam UU Praktik Kedokteran yang hanya melibatkan Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia, sementara itu dalam UU Pendidikan Kedokteran hanya menyebutkan organisasi profesi, hal demikian tidaklah dimaknai bahwa terjadi inkonstitusionalitas norma, karena pada hakikatnya kolegium adalah bagian dari organisasi profesi dalam hal ini IDI.
  • Dalam hal ini  organisasi  profesi  (IDI)  harus  memberdayakan  keberadaan unsur-unsur dalam struktur organisasi termasuk kolegium sesuai dengan fungsinya masing- masing.
  • Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “organisasi profesi” dalam UU Praktik Kedokteran dan dalam UU Pendidikan Kedokteran tidak beralasan menurut hukum.

Diskusi

Dengan Satu IDI paska Putusan MK aquo, maka putusan dan pertimbangan MK aquo sahih menjadi sumber rujukan yang otentik dan kaidah hukum yang memiliki validity dalam mengokohkan Satu IDI sebagai rumah besar profesi kedokteran. Yang dirumuskan dalam AD dan ART IDI, peraturan organisasi sesuai hirarkhi, dan kebijakan IDI.

Pelajaran dari Putusan MK aquo, dan analisis atas tahap-tahap eksistensi IDI sebagai Organisasi Profesi untuk dokter,  bahwa IDI (pun demikian PDGI dan KKI), terbukti institusi yang terlalu penting peran dan fungsinya untuk dinihilkan. Bahkan patut mengorganisir rapih energi Satu IDI sebagai konkritisasi darma bakti IDI.

Hikmah lain? IDI di masa depan patut mengambil porsi besar peran aktif-progresif dalam legislasi hukum perihal kesejahteraan kesehatan.  Sebagai  “roadmap” darma bakti IDI kepada cita-cita Proklamasi dan UUD 1945. Juga, aplikasi peran IDI selaku Agent of Development dan Agent of Change yang eksplisit dalam Mukaddimah AD IDI.

Tak berlebihan IDI aktif menyiapkan arah politik hukum dan paket program legislasi hukum nasional bidang kesehatan. Itu sudah dimulai dengan langkah PB IDI dibawah dwi-kepemimpinan Prof.IOM dan Dr.Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT yang ajukan perubahan bahkan penggantian UU 20/2013. Itu langkah sah-konstitusional.  Selamat Hari Jadi IDI ke-68. Selamat Muktamar IDI ke-30.

Leave a Reply