Saya Partisan Akal Sehat
Saya datang berkemeja putih lengan panjang, memakai kopiah seperti milik Tengku Amir Hamzah. Tanpa atribut.
Saya bukan pengikut. Bukan epigon. Bukan partisan. Bukan anggota partai politik. Bukan golput. Karena saya hadir waktu bagi-bagi akal sehat.
Namun untuk cermat ikhwal politik dan merawat akal sehat, saya tak sampai buka catata. Saya takut kehilangan “n”. Karakter “n”=”&”. Biasanya My “&” selalu turut serta. Sang “&” adalah pasangan saya, seperti kompatibel otak kepada akal. Jantung kepada rasa. Kiranya “&” itu adalah kohesi, seperti Rocky Gerung menyebut akronim PADI=PAsangan abaDI.
Lipat dan singsingkan lengan baju. Pro kaum kurang beruntung dan mustadafin. Stand for human rights menjadi minat aseli. Itu selera berkelas dan bibliografi-ku sejak masuk sekolah hukum dan mulai mengeja “abc” keadilan.
Kampus nomor satu setengah saya HMI, organisasi kader tertua dan organisasi mahasiswa terbesar. Ayahanda Lafran Pane mendirikannya 2 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan. HMI adalah investor pencetak kader generasi muda. Keluarga kami tulen HMI, sudah tiga generasi. Geliat LAAI dan beberapa Ornop alias NGOs transformatif pro HAM, menyuburkan bakat pemihakan saya pada vulnerable group yang tertindas.
Ilmu hukum memangil-manggil saya masuk praktik advokat, sejak dini. Mengikuti jejak Cicero. Bukan sontak mendadak sejak Organisasi Advokat boleh dibuat banyak. Namun sejak lulus SH dari USU. Langsung magang di tempat yang tepat. Mentor yang dahsyat. Saat itu PERADI dan UU Advokat belum ada. Tak bisa ke lain hati. Tak suka ke lain kedai.
Pilihan itu menakdirkan saya bertungkus lumus dengan Hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo, hukum yang memanusiakan manusia. Kiranya Hukum bukan H.u.k.u.m. Meniru Rumi, MAWAR bukan M.A.W.A.R. Perlu dirasakan dan diinteraksikan.
Dengan interaksi profesi lawyer dan pegiat HAM juncto konstitusi, kami pun fasih dengan Kuantum Advokasi pun demikian Litigasi Struktural. Saya dan kolega mendirikan MKI: Masyarakat Konstitusi Indonesia.
Anak saya yang kini kuliah hukum dan Ketum HMI Komisariat FH Trisaksi mengujarkan, agar benih akal sehat syarat pada orang hukum musti terua dirawat dan didokterkan. Terstruktur, masif dan sistematis. Bukan maju tak gentar membela yang “murah” membayar. Kenop akal sehat harus di-ON-kan. Akal sehat vis a vis grasah grusuh.
Aspirasi politik dalam berbangsa dan bernegara, perlu diefektifkan tenaganya. Monas dan TV One menjadi saksi sejarah bahwa akal sehat 212 itu, bisa! Air bah aspirasi politik otentik ala 212 itu menjadi bukti: Indonesia Menang. Tertib. Damai. Saya sekeluarga menjadi saksi pelakon tenaga 212.
Rakyat bukan lagi rombongan penggembira. Kita pemilik sah republik ini. Tesis rakyat adalah silent majority yang lontok, sudah tamat. The End of Silent Majority. Negara ini musti dijaga, dengan menghidupkan indera kritis paling kritis. Generasi kritis yang kritis terus dibina, jangan sampai menjadi The Lost Generation. Tak boleh hapus genetis juncto kikis watak Emeritus.
Jangan rabun jauh sejarah. Politik yang ditinggalkan dan meninggalkan pemilih menjadi politik tanpa mandat. Politik yang mudah ambruk. Namun, politik bukan perkelahian tangan dan laga otot anggota badan. Investasi politik adalah narasi dan argumentasi. Kaya narasi dan argumentasi adalah indeks IQ pengujarya.
Politik musti dipahami dengan rasional. Dilakoni dengan gembira. Bukan fi’il aniaya. Nihil anggar jago. Bukan umbar ketakutan dan kengerian. Ikuti kata hati, anda bermakna. Kata hati adalah frekuensi dari suara Ilahiah.
Gunakan akal sehat, anda pasti bahagia. Apalagi “&” anda turut serta. Ajak selfie. Usah ragu beri tanda jempol dan telunjuk menghadap ke moncong kamera. Kalau kami tak perlu cuti. Kami tidak grasah-grusuh. Hanya hanya mengacungkan simbol kemenangan 17-4-2019.
Menangkan Indonesia dengan akal sehat. Dengan kata-kata bertenaga. Kita pabrik kata-kata bertenaga. Itu yang aku dan My “&” petik tatkala kuliah politik, i.c. saat deklarasi alumni perguruan tinggi seluruh Indonesia untuk Prabowo & Sandiaga Uno, Sabtu, 26-01-2019.
Dari alumni lebih 115 perguruan tinggi, berkumpul di padepokan pencak silat. Bagi-bagi akal sehat. Sharing solidaritas. Mewakafkan bibit unggul cinta negara.
Menikmati suguhan guyon politik yang bernas. Jenaka dan tawa politik membuat sehat. Seperti menonton sesi “roasting” pada panggung stand up comedy. Jenaka mengeritik politik bukan merendahkan. Jangan bilang itu kejahatan. Malahan mendidik generasi agar surplus kesadaran politik. Dari politisi menjadi negarawan.
Di luar masih ada sisa hujan. Seakan hendak menyejukkan sesi “roasting” yang menghangat dari dalam gedung. Pulang dari padepokan pencak silat, saya kebanjiran enzim endhorpin. Enzim pembangkit rasa bahagia. Mitokondria penghasil energi kimiawi membuatku surplus semangat. Riuh dan sorak tak terelakkan sejak menit pertama pesta akal sehat.
Aku pantas gembira menghadiri kuliah umum bernegara. Bernegara mensyaratkan kehadiran. Menjaga dan meng elap-elap akal sehat, menjaga demokrasi makin kinclong. Selera politik harus naik kelas. Pastinya bukan kelas amplop. Selera saya bukan nasi bungkus. Saya cemburu kepada Cicero.
Saya alumni USU dan UI. Dibimbing ruhani yang hidup. Dengan hati yang berpesta. Saya partisan partai akal sehat.