The Search For A Modern Theory of Law

Dalam wacana filsafat hukum, Critical Legal Studies (CLS) lebih merupakan sebuah gerakan, dari pada sebuah teori mengenai filsafat hukum. CLS ini adalah nama yang diberikan untuk kelompok scholars di Amerika yang – mulai aktif dipromosikan semenjak tahun 1970an. Para scholars pendukung CLS memandang dirinya sebagai group yang mengusung aspek-aspek radikal yang lebih luas dan lebih elaboratif dari gerakan American Legal Realism.

Kehadiran gerakan CLS ini merupakan reaksi kritis terhadap pemikiran hukum di Amerika yang sudah mapan, dan – dalam seratus tahun terakhir – dominan mempengaruhi konsep-konsep hukum Amerika, yakni CONVENTIONALISM. Profesor Donal G. Gjerdingen menyebut CONVENTIONALISM ini sebagai traditional concept of law.

Berkembangnya pemikiran CLS ini terkait dengan adanya redefinisi dari CONVENTIONALISME yang merupakan konsep hukum yang dominan di Amerika. Karenanya, untuk memberikan pengertian tentang CLS, dilakukan komparasi argumen-argumen pikiran hukum CLS yang dielaborasi secara lebih radikal, dengan pikiran hukum CONVENTIONALISM yang mewakili “mainstream” konsep hukum yang saat itu dominan di Amerika.

Pokok argumen dari pemikiran hokum CLS adalah kritik atau oposisi terhadap formalisme, dan menolak pemisahan antara hukum dengan politik (separated law and politics). Jelaslah bahwa gerakan CLS muncul sebagai kritik terhadap CONVENTIONALISM, karena dalam tema utama pemikiran CONVENTIONALISM, diasumsikan bahwa hukum adalah sesuatu yang otonom (an autonomous), dan hokum merupakan satu disiplin yang a politik (apolitical dicipline).

Contours of Conventional Legal Scholarship

Di Amerika, sekitar lebih seratus tahun yang lalu, pemikiran hukum dan perdebatan para legal scholars didomiasi oleh konsep hukum yang memisahkan antara hukum dengan politik. Bagi kalangan CONVENTIONALISM, dianut dengan tegas prinsip bahwa hukum dan politik merupakan disiplin yang berbeda, dan karenanya – pada prinsipnya – terpisah satu dengan yang lain. Kesimpulan yang meletakkan posisi berhadapan vis a vis antara CLS dengan CONVENTIONALISM ini didukung dengan 6 (enam) prinsip utama dari ajaran yang dianut para pengikut CONVENTIONALISM.

Pertama, hukum adalah a politik. Hukum bersifat netral (neutral), tidak memihak (dispassionate), dan murni (pure). Hukum adalah produk dari reason, bukan produk politik.

Kedua, hukum adalah otonom. Hukum adalah sesuatu yang lengkap dan mempunyai sistem sendiri (self contained system).

Ketiga, hukum adalah a historis (a historical). Menurut pikiran CONVENTIONALISM, teknik hukum tidak berubah hingga kini. Cara lawyer masa sekarang berpikir, adalah cara berpikir lawyer pada masa lampau, dan juga cara berpikir lawyer pada masa mendatang adalah sama. Kendatipun masyarakat berubah, dan masalah hukum baru terbit, namun metode dan teknik yang dipergunakan untuk memecahkan masalah hukum tetap sama. Alasan-alasan artifisial dari masalah-masalah hukum yang dihadapi tidak berubah atau tetap sama saja.

Keempat, CONVENTIONALISM merawat jawaban-jawaban yang menentukan seluruh masalah hukum. Orang dapat memperkirakan apa yang akan diputuskan pengadilan. Orang dapat dihakimi/diadili dengan standar yang netral, yang – menurut pikiran CONVENTIONALISM ini – menghapuskan kemungkinan-kemungkinan adanya bias ataupun prejudice secara personal.

Kelima, subjek yang utama dalam studi ilmu hukum adalah peraturan hukum (legal rules) dan putusan-putusan yang dihasilkan oleh pengadilan (adjudication).
Keenam, teknik yang baik untuk melakukan pelatihan hukum adalah teknik pelatihan hukum yang konvensional.

The Old Scholarship and its Relation to Conventionalism

Beranjak dari labelisasi yang dilakukan Prof Gjerdiner yang menyebut kan CONVENTIONALISM sebagai the dominant conseption of American Law. Karenanya, masih menurut Gjerdiner, CONVENTIONALISM ini berpengaruh besar dalam “rezim” pemikiran hukum dari kalangan pelajar hukum tua di Amerika (the old legal scholarship). Dengan kata lain, CONVENTIONALISME adalah “mainstream” pemikiran hukum para pelajar hukum di Amerika.

Relasi antara old legal scholarship dengan CONVENTIONALISM sengaja dikemukakan Prof Gjerdiner agar berhasil membawa kita pada pembedaan old legal scholarship dengan the new legal scholarship (yang kemudian menjadi CLS).

Sebagai pemikiran hukum yang utama dan dominan mempengaruhi pelajar hokum, CONVENTIONALISM ini sudah lebih jauh menembus dan sudah merupakan pengetahuan (hukum). Argumen dan asumsi hukum berkembang dengan baik dalam koridor CONVENTIONALISM, misalnya dalam pembentukan jurisprudensi. Selain itu, CONVENTIONALISM sudah menjadi “jantung” setiap pemikiran hukum yang signifikan selama seratus tahun terakhir ini.

Jadi, CONVENTIONALISME – dalam satu atau lain-lain isu hukum – sudah menjadi bagian setiap varietas dari kalangan yang disebutnya dengan the old legal scholarship. CONVENTIONALISM merupakan pembentuk asumsi pemikiran hukum di Amerika sampai akhir dekade ini.

Berbagai bentuk perdebatan ataupun kritik mengenai pemikiran hukum di Amerika, dikatakannya masih tetap berada dalam kerangka CONVENTIONALISM. Bahkan, American Legal Realism yang dikenal radikal, menurut Prof Gjerdiner, hanya memperkuat beberapa asumsi hukum yang dikembangkan CONVENTIONALISM.

Namun, dalam perkembangan pengajaran hukum pada sekolah-sekolah hukum di Amerika, terdapat 3 (tiga) gelombang utama pemikiran hukum yang meramaikan perbedatan hukum di Amerika, yakni:
a. Sociological jurisprudence,
b. American Legal Realism,
c. Legal process.

Menurut Prof Gjerdiner, Sociological jurisprudence dan Legal process hanya menawarkan sedikit perubahan (reformulation) dari elemen dasar CONVENTIONALISM. Sedangkan, American Legal Realism yang dikatakan sebagai lebih radikal, hanya meninggalkan beberapa bagian saja dari prinsip dasar CONVENTIONALISM. Karenanya, para Realist itu bukan sebagai pengerikik yang paling vokal terhadap CONVENTIONALISM, tetap hanya menjadi penganjur/pendorong dari gerakan yang disebut sebagai the new legal scholarship.

Para Realist hanya menyerang CONVENTIONALISM versi yang ortodoks. Mereka tidak mengeritik prinsip dasar yang utama dari CONVENTIONALISM. Para Realist tidak meninggalkan idea bahwa studi kasus dan putusan-putusan pengadilan merupakan konsern utama para lawyer. Menurut CONVENTIONALSM versi yang ortodok, hukum hanya dapat diarahkan oleh lawyer dengan menggunakan metode hukum yang netral.

Sementara, kontrasnya, para Realis mengasumsikan bahwa lawyer dapat mengarahkan peraturan/hukum dengan ilmu sosial yang menggunakan metode yang netral. Atau, para Realist hanya menggantikan studi pemikiran hukumnya dari “the real rules” kepada “paper rules”. Namun, tetap saja para Realist gagal atau tidak pernah menelurkan pemikiran yang merumuskan hubungan yang detil antara hukum dengan politik.

Kritik terhadap CONVENTIONALISM

Kritik utama yang dilakukan kalangan CLS terhadap CONVENTIONALISM adalah mengemukakan pertanyaan terhadap asumsi tradisional dari CONVENTIONALISM yang melakukan otonomisasi hukum, dan melakukan pemisahan hukum dengan politik.

Karenanya, yang membedakan secara mendasar antara old legal scholarship dengan gerbong pemikiran CONVENTIONALISM dengan kalangan new legal scholarship yang mengusung pemikiran hukum dengan gerbong gerakan pemikiran hokum dari legal theory dan CLS, didasarkan pada dua asumsi mendasar yakni:

Pertama, kalangan new legal scholarship menawarkan opsi yang lebih banyak dan lebih komprehensif dari perkiraan yang sudah ada sebelumnya.

Kedua, kalangan new legal scholarship lebih beragam. CLS bukan pengulangan atau pengolahan kembali bentuk pemikiran hukum yang lama, namun mereka menjadi bagian dari restrukturisasi mendasar konsep-konsep dominan hukum Amerika.

Legal Theory Movement mendisain pekerjaan dari kalangan pelajar hukum di Amerika yang berkaitan dengan tugas melakukan restrukturisasi pemikiran hukum yang dikemukakan CONVENTIONALISM.

Menurut Prof Gjardiner, yang menjadi bentuk umum dari Legal Theory Movement adalah:
a. Transisi dari Pemikiran Hukum Biasa kepada Model Baru (Transition from Commond Law to New Models).
b. Mencari Bentuk Legitimasi Baru (A Search for New Legitimacy);
c. Munculnya Tkenik Hukum Baru (Emergence New of New Legal Technique).

CRITICAL LEGAL STUDIES: Pokok Pemikiran tentang Hukum

Para pelajar hukum yang berasal dari kalangan CLS adalah pengeritik utama CONVENTIONALISM. Kalangan pelajar hukum dari CLS berargumen bahwa jauh dari keadaan memisahkan hukum dengan politik, pada fakta sesungguhnya disebutkan hukum adalah politik yang sedang dalam penyamaran (politics in disguise). Dapat dikatakan, hukum menjadi tempat yang efektif bagi adanya penyamaran politik. Kalangan CLS berargumentasi bahwa metodologi hukum konvensional sudah dikontrol oleh nilai-nilai politik, utamanya kapitalisme.

Pertama, Kalangan CLS memegang erat pendapat bahwa hukum sesungguhnya inheren dengan politik, yakni sebagai hasil dari institusionalisasi politik. Hukum adalah cermin dari struktur kekuatan dalam masyarakat. Hal ini dipahami CLS sebagai suatu yang alami, dan karenanya hukum tidak bisa menjadi suatu yang netral. Hukum dihasilkan dengan nilai politik.

Peran dari hukum adalah melakukan institusionalisasi dari kekuasaan yang telah ada, dan melegitimasi penggunaan kekuasaan. Hasilnya, hukum adalah wujud dari struktur kekuasaan yang sudah ada. Dalam perspektif ini, peranan hukum adalah negatif. Hukum hanya melegitimasi, atau menjadi “kenderaan” bagi struktur kekuasaan politik. Kritik CLS terhadap netralitas hukum adalah pembedaan antara publik dengan privat.

Menurut argumentasi CLS, negara bisa melakukan “intervensi” atas urusan privat, dan karenanya bukan semata-mata hanya sebagai sesuatu yang “netral” dan “takterelakkan” (“inevitable”), dari pada peraturan hukum publik. Pikiran ini konsisten dengan kritik-kritik CLS terhadap liberalisme yang memberikan keleluasaan bagi privat mengatur sendiri urusan yang bersifat privat (private matters), seperti relasi domestik (domestic relation), dan kontrak.

Kedua: Tema kedua yang jelas dari kalangan CLS adalah bahwa teknik hukum dari CONVENTIONALISM tidak mempunyai validitas yang mandiri (independen) atau tidak konsisten. Kalangan CLS berargumen bahwa apa yang dikatakan sebagai “hukum” oleh CONVENTIONALISM tidak lain hanya merupakan bentuk argumentasi yang sama sekali kehilangan substansi yang independent (independentt substance).

Argumentasinya selalu kontradiksi, dan karenanya argumen CONVENTIONALISM yang menyatakan hukum adalah netral menjadi sia-sia. Jadi, dalam hal ini CLS menyerang asumsi tentang netralitas dari metode hukum yang dipergunakan dalam pemikiran hukum CONVENTIONALISM.

Atas dasar itu, CLS menggunakan metode lain untuk menyerang metode hukum yang dipakai CONVENTIONALISM, yakni:
a.Trashing; yakni teknik yang dipergunakan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang sudah mapan terbentuk.
b.Deconstracting reality, yakni membongkar pemikiran-pemikiran hukum yang sudah terbentk, yang kemudian dilakukan pembentukan kembali (reconstraction) pemikiran-pemikiran hukum baru.
c.Exposing hegemony, yakni pembongkaran hegemony – dari dominasi pemikiran-pemikiran hukum yang suidah mapan;
d.Delegitimating hirarchies., yakni melakukan delegitimasi terhadap hirarkhi dalam struktur hukum.

Ketiga: Tema kritik utama yang ketiga dari CLS terhadap CONVENTIONALISM adalah pandangannya mengenai liberalisme. Liberalisme – dalam pandangan CLS –penuh dengan kontradiksi dan dilema yang tidak terpecahkan (unsolvable) berdasarkan struktur psikologi dan epistimologi dari pemikiran-pemikiran liberalisme.

Jadi, liberalisme inheren dengan inkonsistensi. Karenanya, dalam perspektif CLS, maka CONVENTIONALISM berusaha/mencoba melakukan mediasi atau menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi yang mendasar itu. Setidaknya, hasil yang terbaik yang bisa dipetik dari keadaan seperti itu, adalah bahwa CONVENTIONALISM, tidak dapat dipergunakan (unusable). Atau, menurut CLS, hasil buruk yang diperoleh dari CONVENTIONALISM bahwa pemikiran hukum dari kalangan CONVENTIONALISM itu menyediakan adanya politik yang represif (politically represive).

Di satu sisi, nilai individualistik adalah subyek dan wasit penengah bagi hukum. Sedangkan, sisi lain, eksistensi indivial yang saling bergantung (mutual dependent) membutuhkan formulasi dan merupakan kehendak dari peraturan hukum yang netral dari masyarakat.

Jadi, sesungguhnya kritik CLS terhadap CONVENTIONALISM adalah kritik terhadap liberalisme itu sendiri. CLS melakukan kritik terhadap basic nature dari CONVENTIONALISM yang menjadi konsep hukum dominan di Amerika. Gerakan CLS melawan pemikiran hukum yang mapan dan dominan.

Implikasinya, gerakan CLS ini membawa implikasi ideologis terhadap pendidikan hukum modern (ideological implication of modern legal education) , kritik dan perlawanan terhadap asumsi-asumsi gerakan hukum ekonomi, dan menggunakan teori radikal dalam pemikiran radikal praktek hukum.

CLS dan legal theory sebagai kelompok new legal scholarship, berdiri bersama-sama pada posisi menyangkut contours pemikiran hukum.

Pertama, CLS menghendaki adanya pemikiran hukum yang berisi substansi pemikiran hukum yang lebih luas dalam lingkup (scope) dan bentuk tatanan (manner).

Kedua, Keterkaitan keberadaan antara bentuk pemikiran hukum dan struktur politik.

Ketiga, kedua group (CLS dan legal theory) menyetujui bahwa budaya hukum sedang dalam masa/keadaan transisi. Pemikiran-pemikiran hukum biasa sudah meningkat pada keadaan, yakni pemikiran hukum yang tidak relevan.

Namun, ada perbedaan antara legal theory dengan CLS. Bagi kalangan legal theory, bahwa mereka menantang pemikiran CONVENTIONALISM dilihat dalam kerangka liberalisme. Sedangkan CLS, melakukan kritik terhadap CONVENTIONALISME dengan sama sekali membebaskan diri terhadap kerangka CONVENTIONALISM dan LIBERALISM,

Pengantar Modern Theory of Law: Sumbangan dari New Scholarship

Perdebatan antara kelompok old scholarship dan new scholarship adalah perdebatan pada tatatan konsep hukum, yakni antara CONVENTIONALISM dengan teori moderen tentang hukum (modern theory of law). Sebagai titik balik dari dominasi CONVENTIONBALISME, maka modern theory of law mempunyai 6 (enam) elemen dasar yang membedakannnya secara prinsipil dengan CONVENTIONALISM.

Pertama, Hukum dan Politik. Hukum mesti menjadi politis (law must be political). Karenanya, lawyer mesti memulai dengan satu titik utama asumsi pemikiran hukum, bahwa hukum dan politik saling berkaitan.

Kedua, Hukum dan Kedudayaan. Hukum adalah disiplin yang semi otonom (Law is a semiauthonomous dicipline).

Ketiga, Hukum dan Sejarah. Hukum mesti menjadi suatu yang historis (Law must be historical). Perubahan dasar dengan adanya even-even sejarah, bisa menjadi sumber dari legitimasi bagi hukum.

Keempat, Hukum dan Penentuan. Hukum tidak perlu memberikan satu jawaban yang sebenarnya. Ini adalah kritik atas asumsi CONVENTIONALISM bahwa hukum bisa menentukan satu jawaban tunggal yang benar.

Kelima, Hukum dan Putusan Pengadilan. Hukum lebih dari sekadar kajian tentang putusan-putusan pengadilan. Dalam pemikiran CLS, subjek hukum itu lebih luas dari sekadar studi tentang keputusan pengadilan. Hukum membutuhkan kajian yang bebas dari hanya studi tentang putusan pengadilan atau peraturan hukum, tetapi lebih luas dari hal-hal itu.

Keenam, Hukum dan Kategori Klasik Hukum. Legitimasi teknik-teknik hukum termasuk lebih dari sekadar metode tradisional dari hukum, dan tidak membutuhkan keterkaitan dengan kategori hukum klasik. Ketegori hukum klasik telah kehilangan legitimasi. Penafsiran tektual dan analisis kasus – atas suatu isu hukum – tidak hanya terdiri atas legitimasi dari teknik-teknik hukum saja.

Pada masa yang akan datang, para pelajar hukum mencoba mnelakukan pengembangan dialog-dialog hukum mengenai struktur politik moderen. Para pelajar hukum memfokuskan pada aspek pilihan-pilihan sosial dari teori hukum moderen, membuat kreasi teknik hukum baru, dan pergeseran/pergerakan hukum dari sekadar putusan pengadilan saja.

Adalah penting, dalam pemikiran hukum mengenai aspek historis dan aspek budaya dari pemikiran hukum yang sudah diartikulasikan oleh kalangan penganut CLS. Suatu hal yang tidak mudah bagi teori hukum bekerja untuyk mencari atau menemukan satu bentuk utama dari tentang legitimasi politik dan tekni barunya dalam kaitannya dengan hukum. Teori hukum modren menyarankan bahwa struktur politik modren menyediakan legitimasi untuk bekerjanya teori hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Brian Bix, “Jurisprudence – Theory and Context”, Second Edition, Sweet & Maxwell, London, 1999.

Donald H. Gjerdiner, “The Future of Legal Scholarship and the Search for a Modern Theory of Law”, Buffalo Law Review, Vol. 35, No. 2 Spring, 1986.

Eugene W. Hickok & Gary L. McDowell, “Justice vs Law – Court and Politics in American Society”, The Free Press, New York-Toronto, 1993.

Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang”, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakukltas Hukum Universitas Indonesia, UI Press, Jakarta, 2001.

Leave a Reply