Sejahtera, Alasan Otentik Bernegara

Saat bulan puasa, harga daging membubung, padahal ramadhan hanya sebulan dalam setahun. Pun demikian idemditto dengan utak atik nasib bawang, jengkol, tarif angkutan, dan entah apa lagi, yang dibahas sampai ke sidang kabinet.Pedagang tempe unjuk rasa, karena kedelai tak terjangkau harga. Kaum ibu rumah tangga berorasi di hadapan istana.

Seperti latah, Menteri Perumahan Rakyat pun menyuarakan kabar ironis: menaikkan harga rumah rakyat untuk MBR, dalihnya penyesuaian harga BBM. Seakan tak paham Pasal 54 UU Perumahan dan Permukiman. Majelis Pembaca, tidakkah kita merasa aneh dengan sikap Pemerintah?

Wahai Pemerintah, tahukah mengapa kita membentuk negara? Bersatu kita sejahtera, berpisah kita merana. Itu kira-kira alasan mengapa membuat negara atau memisahkan diri dari negara.

Pemikiran itu serius, walau dimulai dengan kisah bawang dan jengkol. Itu bertemali dengan demokrasi politik yang tak patut dilepaskaitkan dengan demokrasi ekonomi. Berdaulatnya rakyat di bidang ekonomi, memang mudah diucapkan namun kerapkali tak kentara dalam kebijakan. Akibatnya, di lapangan inconcreto rakyat tak menemukan kesejahteraan sosial.

Bisa jadi itu akibat sejarah yang salah arah. Memisahkan urusan ekonomi sebagai urusan rakyat secara sendiri-sendiri. Raja hanya mengurusi dan berdaulat atas kekuasan politik saja. Kinipun para raja dan pembantunya tergoda mengurusi Imperium, membentuk partai politik (parpol) dan ujungnya menggiat-giatkannya menjadi alat politik. Adakah raja dan pembantunya yang membuat partai ekonomi (parkom)? Kita mestinya disadarkan oleh sejarah betapa tidak relevan dan naif memisahkan konsep Imperium versus Dominium secara diametral. Maksudnya? Imperium adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. Dominium adalah konsep mengenai “rule over things by individuals”. [lihat Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta, 2011, hal.121-123].

Menurut Montesquieu, politik dan ekonomi terpisah tegas. Katanya, dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Akibatnya, pemisahan kekuasan dengan kesejahteraan. Rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik.

Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan dan kemauan masing-masing pribadi serta kompetisi dengan sesamanya dalam mekanisme pasar bebas. Negara hanya mengurus kepala dan tangan, tamsil untuk politik. Tidak mengurus perut dan mulut, tamsil untuk ekonomi dan kesejahteraan sosial. Tentu, ini penyataan kolot yang absurd bahkan primitif sekali.

Namun, kua praktik, primitifisme relasi negara dengan rakyat itu, kinipun masih terjadi dalam bentuk relasi ekonomi yang timpang dan kesempatan yang tidak adil. Membiarkan rakyat berjuang mengisi perutnya sendiri, tak terkendalinya harga daging, importasi buah mematikan petani lokal, melonjaknya harga kedelai, kartel trading migas, kurupsi, skandal suap, eksplitasi korporasi plat merah alias BUMN, dan ragam bentuk penyalahgunaan jabatan, adalah metamorfosa haram primitifisme relasi antara negara dengan rakyat. Yang memisahkan kekuasaan politik dari ihtiar mensejahterakan rakyat. Reproduksi pikiran kolot yang memisahkan antara Imperium dengan Dominium.

Menurut Muhammad Hatta, pembedaan konsep kedaulatan politik dengan kedaulatan ekonomi (sebut saja Imperium versus Dominium), karena produk sejarah yang “tidak senonoh”. [vide Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, No.1, hal.2, dalam Jimly Asshiddiqie, hal.123]. Sungguh, sejarah yang tidak senonoh lahir dari pemikiran yang tidak senonoh, atau primitifisme relasi negara dengan rakyat. Senada dengan Hatta, founding fathers kita, Bung Karno merumuskan jargon berikut ini: Demokrasi Politik + Demokrasi Ekonomi = Demokrasi Sosial.

Tak heran jika pemikiran maju itu, mengilhami founding fathers merumuskan Pembukaan UUD 1945 dan menuangkan ke dalam konstitusi Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial. Pun dilakukan amandemen, dalam Perubahan Keempat, Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial makin dipertegas relasi tak terpisah anatara demokrasi ekonomi dan politik. Kesejahteraan menjadi alasan bernegara. Tepat, jika didengung-dengungkan bahwa tidak relevan membedakan antara konsep Imperium versus Dominium. Rakyat menurut paham moderen, berdaulat di lapangan politik dan perekonomian [Jimly Asshiddiqie, hal.122-123].

Tak hanya dalam ulasan konstitusionalisme, patut juga mencatat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewarna-warnai jagat konstitusionalisme di sini dengan paham hukum yang pro rakyat. Tengoklah beberapa putusan kaum jubah merah pengawal konstitusi berikut ini.

Putusan MK Nomor Nomor 14/PUU-XII/2012, menurunkan pendapat bahwa hak bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional setiap orang [Pasal 28H ayat (1) UUD 1945], adalah untuk merealisasikan tujuan negara “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”. Titah MK tegas dan lugas: melarang membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 meter persegi, berarti menutup peluang masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu. Itulah alasan MK mencabut Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011. Saya patut bersyukur ikut dalam proses lahirnya putusan ini sebagai kuasa hukum APERSI, Asosiasi Pengembang dan Permukiman Seluruh Indonesia.

Putusan MK Nomor 30/PUU-VII/2010: “Frasa ‘dengan cara lelang’ dalam Pasal 51, Pasl 60 dan Pasal 75 ayat (4) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lelang dilakukan dengan cara menyamakan antar peserta lelang WIUP dan WIUPK dalam hal kemampuan administratif/manajemen,teknis, lingkungan, dan finansial yang berbeda terhadap objek yang akan dilelang”. Putusan MK ini hendak mengatakan, tak elok dan tak konstitusional membeiarkan rakyat bersaing tak adil, tanpa kemampuan setara. Pemihakan kepada yang lemah adalah esensi putusan ini.

Putusan MK atas Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek dan pasal 13 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa kepesertaan jaminan sosial itu berdasarkan inisiatif perusahaan. Mahkamah menilai kedua ketentuan itu tidak secara tegas memberikan jaminan hak-hak pekerja atas jaminan sosial karena meniadakan hak pekerja mendaftarkan diri, sebagai peserta jaminas sosial atas tanggungan perusahaan. Apabila perusahaan nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. MK berpendapat kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (3) dan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Itu putusan yang mencerahkan bangsa kita, bahwa MK berpendapat jaminan sosial adalah turunan langsung kesejahteraan sosial. MK mengajarkan lagi bahwa konstitusi menjamin Social security for all. Majelis Pembaca: Itu alasan otentik mengapa kita bernegara.

Leave a Reply