Selalu Rakyat yang Memulai
Setiap ramadhan tiba, suasana petang kota kecil di Langkat itu berbeda ritme waktu, namun semakin inovatif.
Semenjak sekitar pukul tiga suku, di lokasi seratusan meter lewat pangkal jembatan Sei.Batang Serangan, berjejar puluhan penjual juadah lokal, yang setia menanti pembeli tajil buka puasa.
Dengan ragam warna, beragam nama sebutan, dalam balutan hijau daun pisang, ataupun dibiarkan terpangah dengan tekstur aslinya, dengan ragam harga dan ragam cerita.
Entah sejak sepagi apa panganan takjil buka puasa itu mulai disiapkan. Yang pasti, menjelang ashar, penjual pamer kreatifitas menjajakan.
Semua dagangan berjenis beda, tak ada yang sama, itu ihwal kesadaran awal mencegah persaingan tak afiat.
Terselit pula belasan batang buloh yang hamper pekat bekilat sekujor batang yang mewadahi lemang pulut buatan cik Beti, serabi dan kue lapis 3 warna ala Maryam, ataupun jongkong beras buatan anak pak Syai’in. Ada lepat bugis dan kue bolong berbahan gandum, yang sekarang ditiru menjadi donat bermerek keren.
Jejalan pembeli dan penjual lokal yang berkerumun itu bukan sedang terserang konsumtifisme, bukan pula sedang dikuasai “lapar mata” menjelang berbuka, bukan pula ramai kerna saban hari pekan atau tanggal gajian kecil.
Bagi penjual, itu bukti rasa syukur yang memantik insting kreatifitas kuliner domestik. Bagi pembeli itu membenihkan pemahaman betapa panganan tak harus dibeli dari etalase mewah toko bermerek luar.
Ini bukan hanya terkenang silam, namun lebih memercik api kesadaran betapa para penjual juadah musiman itu sudah menjadi insan kreatif usaha kuliner.
Peniaga mikro tangguh yang tak bermanja fasilitas penguasa, pengintai peluang ceruk bisnis yang jenius, yang jika disentuh bina sedikit saja oleh pemerintah lokal, bisa menjadi pemain kuliner yang devisanya aduhai legit.
Tanpa perlu membentuk kementerian atau dinas yang mengklaim mengurusi portopolio ekonomi kreatif, ataupun inovasi finansial skim kredit usaha mikro.
Ritme kreatifitas ekonomi rakyat bergeliat dan bertungkus lumus, yang terekam setakat 30-an tahun silam itu, kini justru kemudian diikuti negara. Diakui daya ungkit ekonominya melawan hantaman krisis ekonomi sektor formal.
Itupun setelah negara tak percaya lagi jurus ekonom yang mengusung tiori Tricle Down Effect. Dari dulu, rakyat menciptakan inspirasi ekonomi, kemudian Negara mengekori.
Pun demikian dengan hukum, regulasi tumbuh dari persintuhan lalu lintas pergaulan manusia dalam masyarakat.
Sejatinya, ekonomi, sosial, maupun hukum, benihnya berasal dari inisiatif rakyat. Negara? cuman menjustifikasi.