September Menyala, Profesor Begawan Kesatria

=Menghayati sesi sidang, tradisi saya membuat catatan merawat ingatan. Opini akhir pekan bulan September ini, berdering sebagai ajakan membela Kolegium. Institusi ilmiah dari tradisi universal pengampu ilmu kedokteran itu rusak. Tepatnya, dirusak kekuasaan sewenang-wenang dengan aturan represif. Tapi soal ilmu, hati manusia berdering dalam kunci dinyanyikan jiwa, seperti lirik lagu ‘Earth, Wind & Fire – September’.

Seperti lingkungan hidup, ilmu (science) pun bisa dirusak. Bukan hanya disalahgunan. Lingkungan dirusak dengan pencemaran, bahkan kesengajaan. Bumi dieksplotasi berlebihan. Dikapitalisasi seakan milik dinasti. Emisi karbon menjadi ik-lim ja’hat. Pejuang penjaga lingkungan dilindungi, pun cerita sedih lingkungan tak hanya instalasi art hapening, namun memiliki legal standing.

Kalau ilmu? Ilmu juga bisa rusak karena dirusak. Validitas ilmu hilang karena kejahatan data, mengubah fakta, tercemari bohong dalam analisa, pun hoax dalam konklusi. Apalagi mengintervensi ilmuwan, mengutak-atik independensinya. Padahal, kebenaran ilmiah diuji dengan bukti, istilahnya: EBM (evidence based medicine). Bukan dengan testimoni, seperti iklan ‘Tong Fang’.

Kebenaran ilmiah-EBM menolak Testimonial Based Medicine, walau pengakuan pasien yang mengalami, apalagi hanya pernyataan pejabat pemerintahan. Testimoni tak identik ilmu. Media sosial bukan ilmuwan. Bahkan ilmuwan bisa runtuh karena tak jujur: misconduct.

Kasus Wang Woo-suk, guru besar bio teknologi di South Korea University yang meneliti stem cell dianugerahi gelar kebangsaan Korea, namun terbukti melakukan fabrikasi data. Jurnal ilmiah Amerika Serikat “Science” mencabut tesis profesor Hwang Woo Suk tentang proses pengembangbiakan sel batang embrio yang dimuat dalam edisi tahun 2004 dan tahun 2005 (https://world.kbs.co.kr/service/news_view.htm?lang=i&Seq_Code=9966). Gelarnya dicabut, bahkan didakwa dan dijatuhi pidana (vide voaindonesia.com, 12 Mei 2006). Pernah diwartakan, uji klinis vaksin nusantara yang kontroversi: Ditolak BPOM, Didukung Politisi (vide https://kabar24.bisnis.com/read/20210417/15/1382467/kontroversi-vaksin-nusantara-ditolak-bpom-didukung-politisi).

Ilmu dan penelitian ilmiah diuji ilmuwan peers group. Terbuka diperiksa sejawatnya sedunia. Ilmu disajikan di lembaga ilmiah. “Bukan diujarkan di media sosial”, kata Prof.Djohansjah Marzoeki. Siapa dia? Sabar, lanjutkan membaca.

Saya yakin, ilmu –yang tak dirusak dengan dusta, pabrikasi data, tekanan penguasa, merdeka dari conflict of interest– adalah ilmu yang valid, otentik, terjaga. Ilmu syarat bangsa maju dan bahagia. Penjaga ilmu adalah lelaku Kesatria: itu ciri Pancasilais.

**

Kemarin, saya: Joni Lawyers & Ina Tanamas mendampingi klien yang tak biasa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia pengampu ilmu kedokteran sekaligus praktisi kedokteran yang tak biasa: Prof. Dr. dr. Djohansjah Marzoeki, Sp.BP, Sp.BP-RE, Sub.Sp.RL. Dia dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi estetik jebolan universitas Groningen di negeri Belanda.

Kembali ke Indonesia mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR),
total mengembangkan Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi Estetik Indonesia. Karena keahliannya, pernah didapuk menjabat Ketua ASEAN Plastic Surgeon Association. Prof.Djo, begitu biasa disapa, menerima penghargaan keilmuan: Tribute Lecture XVIII (2018) dari almamaternya, UNAIR. Prof.Djo dinobatkan Begawan Kesatria Airlangga.

Sempat lulus masuk STM di Bandung, soal bedah plastik rekonstruksi estetik adalah keahliannya. Sempat lama mengawal PERAPI (Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia) sampai 4 periode: 1986-1998. Berpengalaman 40an kali operasi kelamin, Dorce Gamalama adalah satu pasiennya.

Walau kini usianya 84 tahun, energi hidupnya kuat menyala. Pemikirannya bernas. Ucapannya lugas. Penulis buku ‘Hidup Ini’ (2008), ‘Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu’, dan ‘Tehnik Pembedahan Celah Bibir dan Langit-Langit’ itu terbang dari langit Surabaya ke Ibukota Jakarta hanya untuk datang ke MK. Misi yang seru demi menjaga kaidah ilmu yang baku. Demi memulihkan hak hidup lembaga ilmiah.

Prof.Djohansjah tak gentar maju sendirian menguji Pasal 451 UU Kesehatan. Itu pasal yang mencabut legitimasi cq. hak hidup Kolegium. Yakni, Kolegium sebagai lembaga ilmiah yang independen. Yang kua historis dibentuk organisasi profesi dokter cq IDI.

Kolegium bukan buatan pemerintah, namun by law diakui (recognized; lawfull; legitimate) dengan UU Praktik Kedokteran, karena memang Kolegium dibutuhkan bangsa dan negara. Mengapa? Karena tanggungjawab negara memajukan ilmu yang mandatory konstitusi Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Kolegium kedokteran mengemban bakti dan berkontribusi untuk negeri karena terikat sumpah Hipokrates.

Mengapa perlu menguji Pasal 451? Karena pasal itu kausal hapusnya legitimasi Kolegium. Mengapa pula Prof.Djohansjah sendirian yang maju? Semula hanya kegelisahan sebagai ilmuwan kedokteran saja. Prof. Djo kuatir runtuhnya eksistensi Kolegium yang independen, terlebih lagi resiko tidak validnya jatidiri ilmu dengan aneksasi [K]olegium menjadi (k)olegium yang bisa diutak atik pemerintah.

Kekuatiran dan prognosa kolegium tak independen itu terbukti, malah jauh lebih parah lagi. Terbukti terbitnya PP Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 707 ayat (1) dan (2) yang memberi wewenang kepada Menteri Kesehatan melakukan intervensi. Malah, mengutak atik bahkan mengubah hasil tugas kolegium sesuai kebijakan buatannya. Ngerih. Jiwa Kesatria Airlangga-nya menyala.

Saya disambungkan Ketua Umum MHKI (Masyarakat Hukum dan Kesehatan Indonesia) dr.Mahesa Paranadipa Maikel, MH.Kes., MARS dengan Prof.Djohansjah. Sosok ilmuwan kedokteran yang berusia kronologis lebih tua dari usia Proklamasi Kemerdekaan RI. Wajar dan happy saya disapanya dengan ‘Mas Joni’ bukan ‘Advokat Joni’.

Kami menghormati dari hati dengan sapaan formal: ‘Prof.Djo’. Walau bukan karena usia dan jabatan formal, wibawa dan cara bicaranya yang lugas dan ringkas membuat saya takzim, namun betah berlama-lama. Prof. Djo tak pelit menjelaskan bidang ilmunya kepada kami yang awam.

Saya teringat dalil Prof.Djo., bahwa dalam mendiskusikan ilmu yang dihormati nalar rasional, bukan karena usia biologik. “Yang muda umur biologiknya tetapi memberikan kontribusi yang lebih banyak, dia akan lebih dihargai dari mereka yang lebih tua”, dalil Prof.Djo dalam bukunya ‘Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmiah’. Bukan karena usia, pun derajat pangkat dan ketinggian jabatan, ya Prof.Djo?

Setelah beberapa kali pertemuan menalar meeting of mind, diskusi mendalam, menyusun draf naskah litigasi, details merekonstruksi estetika naskah judicial review, sampailah kami mendampingi Prof.Djo bersidang di MK.

Mengaku sempat didebat putriya mengapa repot-repot maju ke MK. Dia menjawab lugas dan ringkas, “(Ilmu kedokteran) ini hidup saya”. Demi menjaga Kolegium eksisting agar tidak dihapus, tidak dirusak “DNA”-nya, tak rela membiarkan mutan menjadi kolegium (dengan ‘k’ huruf kecil) sebagai subordinat penguasa.

Memberangus Kolegium itu dari bumi ilmu dengan Pasal 451 UU Kesehatan, bagaikan ‘ik-lim ja’hat’ bertitel global warming yang panasnya memangsa planet bumi. Saya menggunakan tiori hukum represif dari duo Nonet & Selznick ketika membedah Pasal 451 itu sebagai hukum yang tidak adil. Ketidakadilan yang beku (congealed justice). Sungguh, konstitusionalitasnya nihil. Norma hukum yang dibuat dari kekuasaan sewenang-wenang (arbitrary power), adalah bukan hukum.

Imbas Pasal 451 itu luar biasa. Dampaknya meluas, karena 38 Kolegium Kedokteran dalam rumah besar IDI tak diakui lagi. Bisa hilang eksistensi, dirusak dan mutan dalam fungsi, bahkan kemudian mati. Dalam naskah judicial review ke MK Nomor 111/PUU-XXII/2024, kami nekat menyebutnya “genocide” Kolegium. Mustinya malah disayang dan dijaga. Padahal, Kolegium menjalankan bakti pengampu ilmu tanpa fasilitasi negara. Itu darma bakti yang spesifik, tak bisa dikerjakan lembaga eksekutif, bahkan legislatif pun yudikatif.

Menjaga ilmu itu mandatory konstitusi versi Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Bakti dan konstribusi Kolegium itu cetho welo-welo, bak bersuluh ke matahari. Namun, Kolegium eksisting yang didalilkan yurisprudensi MK sebagai academic body, justru ‘sepi ing pamrih’. Kiranya, tak berlebihan menyebut negara berutang banyak kepada Kolegium. Ampun konstitusi, ijinkan kami mengadu: mengapa Kolegium eksisting dimatikan legitimasinya?

Tetap semangat dan menyala Begawan Kesatria Airlangga Prof.Djohansjah. Sosok ilmuwan pengampu ilmu, yang mewakili legal standing ilmu, bukan hanya atas nama kelembagaan Kolegium. Walau keduanya: ilmu dan kolegium itu satu-cum-senyawa.

Ilmu pun Kolegium independen kepada apapun, kecuali hanya mengampu ilmu. Menjaga ilmu itu asa menghidup-hidupkan kemanusiaan. Sesuai Alinia IV Pembukaan UUD 1945: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Walau bukan eksekutif, legislatif pun yudikatif, Kesatria Airlangga Prof.Djohansjah Marzoeki, menyala sebagai ilmuwan kedokteran penjaga ilmu, tak hanya lembaga Kolegium. Prof.Djo melakonkan legal standing ilmu kedokteran, dia Profesor Kesatria Indonesia yang menghidup-hidupkan kebenaran ilmu. Begawan yang mengajarkan arti loyal kepada kebenaran ilmiah dan tabah menjaga tradisi ilmiah. Tradisi Kesatria kudu berdering, dalam kunci yang dinyanyikan jiwa. Our heart were ringin’ in the key that our soles were singin’. Tabik.

Adv. Muhammad Joni

Leave a Reply