Sistem Peradilan Anak Harus Diubah
Untuk melindungi anak dari tindak kekerasan dan kejahatan terutama bagi anak yang berhadapan dengan hukum, penjara anak harus dihapuskan karena pemenjaraan anak adalah wujud kriminalisasi anak. Akan lebih baik apabila penjara anak digantikan dengan lembaga pengembangan kreativitas anak yang berkonotasi positif.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi dan Wakil Ketua Komnas PA Muhammad Joni mengemukakan hal itu dalam paparan Catatan Akhir Tahun 2009 Komnas PA bertema Anak Berhadapan dengan Hukum: Anak sebagai Pelaku dan Korban Tindak Pidana Terus Meningkat, Rabu (23/12/2009), di Jakarta.
“Selama ini citra penjara anak negatif sehingga begitu keluar dari penjara anak dicap kriminal. Dengan mengubah nama menjadi lebih positif seperti lembaga pengembangan kreativitas anak dengan aneka kegiatan kreatif di dalamnya, anak diharapkan akan menjadi lebih kreatif,” kata Kak Seto.
Perlakuan yang tepat pada anak yang berhadapan dengan hukum, tambah Joni, bukan penjara melainkan tindakan. Sayangnya, tindakan belum menjadi prioritas. Oleh karena itu perlu ada reformasi pada sistem peradilan anak yang diawali dengan mengubah batas usia tanggung jawab pidana anak.
“Harus ada koreksi dengan menaikkan batas usia tanggung jawab pidana anak dari yang sekarang 8 tahun. Itu terlalu rendah. Koreksi ini salah satu cara menghindari kriminalisasi anak,” kata Joni.
Undang-Undang No 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak dianggap Komnas PA sebagai produk hukum yang gagal melindungi anak dari proses kriminalisasi. UU itu justru mengarahkan anak untuk dipidanakan dan dalam sidang anak pun anak diperlakukan layaknya orang dewasa. Padahal anak bukan pelaku tindak kejahatan yang autentik.
“Anak melakukan perbuatan terlarang bukan karena maunya tetapi karena ada setting sosial, ekonomi, dan hukum sehingga anak menjadi pihak yang dikriminalkan,” lanjut Joni.
Kasus meningkat
Menurut catatan akhir Komnas PA, kasus kekerasan terhadap anak tahun 2009 meningkat dengan adanya 1.998 kasus yang diadukan ke Komnas PA (1.736 kasus tahun 2008). Sekitar 62,7 persen dari 1.998 kasus termasuk kekerasan seksual (sodomi, perkosaan, pencabulan, dan incest). Sisanya, kekerasan fisik dan psikis.
Sementara untuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum terdapat 1.258 aduan. Sekitar 52 persen dari jumlah itu adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, dan penganiayaan dan 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan.
Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menyebutkan pemidanaan ini dibuktikan dengan ditemukannya 5.308 anak yang mendekam di 16 lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Kurang dari 10 persen anak yang berhadapan dengan hukum yang dikenakan hukuman tindakan yakni dikembalikan kepada Departemen Sosial atau orangtua.
“Nasib anak berhadapan dengan hukum ini harus jelas siapa yang bertanggung jawab atas dirinya dan harus dititipkan kemana dia. Harus ada kebijakan nasional yang mengikat daerah-daerah untuk membuat rumah sosial perlindungan dan berkekuatan hukum,” kata Arist.
Upaya perlindungan anak di tingkat pemerintah juga tidak serius mengingat belum adanya peraturan daerah tentang perlindungan anak. Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Partai Amanat Nasional, Wanda Hamidah mengaku akan mulai mendorong Perda Perlindungan Anak mulai tahun 2010. “Sampai saat ini belum ada Perda Perlindungan Anak di DKI Jakarta. Ini yang akan kita dorong terus,” ujarnya. sumber