SP3 Penghilangan Ayat Tembakau Dinilai Janggal
Kapolri baru, Komisaris Jenderal (Pol) Timur Pradopo pernah mengumbar janji kala uji kelayakan dan kepatutan pencalonan dirinya di Komisi III DPR untuk menuntaskan kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat. Kini, pernyataan tersebut ditagih. Terutama untuk menuntaskan dugaan tindak pidana penghilangan ayat dalam UU Kesehatan, yang diduga dilakukan Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning P.
Perbuatan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu dilaporkan oleh Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok (KAKAR). Koalisi punya setebal keyakinan, Ribka yang diduga menjadi aktor hilangnya ayat (2) pasal 113 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan saat dikirimkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk ditandatangani. Perbuatan Ribka lalu dilaporkan KAKAR dengan pelapor mantan rekan satu komisi, Hakim Sorimuda Pohan. Tetapi, upaya mereka kandas pada 12 Oktober 2010.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri akhirnya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diketahui dari Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) tertanggal 15 Oktober 2010. Surat dengan nomor B/350-DP/X/2010/Dit-I dan diparaf Kompol Agus Sunardi, Kanit IV Dokpol atas nama Direktur Tindak Pidana Umum menyatakan, setelah melakukan langkah-langkah maksimal, disimpulkan perkara yang dilaporkan koalisi bukan merupakan perbuatan pidana. “Untuk kepastian hukum terhadap perkara yang saudara laporkan, kami hentikan penyidikan,” demikian isi surat yang dibacakan Hakim di kantor Indonesian Corruption Watch, Selasa (19/10).
Surat tersebut menyatakan sebagai rujukan penghentian penyidikan adalah Surat Dir I/Kamtrannas No.: B/66.a-DP/X/2010/Dit-I tanggal 12 Oktober 2010 tentang Surat Penghentian Penyidikan. Serta surat Ketetapan Penghentian Penyidikan yaitu Surat Surat Dir I/Kamtrannas No.: B/66.b-DP/X/2010/Dit-I tanggal 12 Oktober 2010. Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri Iskandar Hasan membenarkan terbitnya SP3 kasus tersebut. “Karena kasus itu bukan perbuatan pidana setelah melalui gelar perkara”. Dia menampik kasus tersebut berhenti secara mendadak. Karena sudah melalui tiga kali gelar perkara.
Gelar pertama awal dilakukan untuk menentukan apakah perbuatan tersebut masuk pada ranah pidana atau sebaliknya. Kali kedua, atau gelar perkara tengah untuk menentukan kendala dalam proses penyidikan. Ketiga, gelar perkara tahap akhir untuk menyelesaikan berkas perkara tahap akhir atau finishing perihal pelimpahan berkas pekara ke pihak kejaksaan.
Mantan Kapolda Bangka Belitung ini menguraikan, gelar perkara tahap awal tak ditemukan perbuatan pidana oleh terlapor. “Nah, lantaran bukan perbuatan tindak pidana tidak diperlukan mencari siapa pelakunya. Begitu pun barang bukti”. “Kalau perbuatan pidana baru ada tersangkanya. Kan saya bilang gelar perkara awal itu untuk menentukan perbuatan pidana atau bukan,” katanya.
Mantan Direktur Akademik Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini menyanggah terbitnya SP3 lantaran terdapat intervensi dari DPR. “Tidak ada, itu kan murni fakta yurudis yang ada bukan perbuatan pidana,” ujarnya.
Profesionalisme Turun
Koalisi bereaksi keras dan menyatakan profesionalisme polisi berada pada titik nadir. Pasalnya, alasan penghentian penyidikan menyimpan sejumlah keganjilan. Anggota Koalisi, Tulus Abadi menyatakan SP3 perkara ini menuding, tak ada upaya maksimal dari kepolisian untuk mengungkap dugaan tindak pidana yang dialamatkan pada Ribka dan dua mantan anggota komisi IX periode 2004-2009, yaitu Asiyah Salekan dan Maryani A Baramuli. “Mereka belum pernah diperiksa, tapi sudah ada SP3,” tukas anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini. Sempat, lanjut Tulus, Kabareskrim Komjen Ito Sumardi menyatakan pemeriksaan Ribka setelah Ketua Komisi IX mendapat izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Tapi, apakah Presiden merestui pemeriksaan, tak ada penjelasan dari Kabareskrim,” ujarnya.
Hakim Sorimuda Pohan menguatkan pendapat Tulus. Sebagai pelapor, dia selalu mendapat perkembangan hasil penyidikan (SP2HP). Tapi, tak ada berkas SP2HP Ribka dan dua mantan anggota DPR lain. Begitu pula, lanjut pelapor kasus yang dijuluki ‘tembakorupsi’ ini, tak ada surat sama apabila penyidik memeriksa ahli. Hakim yakin, ketiga terlapor sudah berstatus tersangka. Meskipun setelah SP3 terbit tak ada penjelasan membenarkan ketiganya sebagai tersangka.
Penasihat hukum Hakim, Muhammad Joni menilai ada kejanggalan akan terbitnya SP3 ini. Menurut dia, jika penyidik bekerja maksimal, ketiga orang tersebut harus diperiksa lebih dulu. “Tak ada alasan yuridis dan teknis tidak memeriksa mereka, tapi muncul kesimpulan SP3 dengan dalil sudah berupaya maksimal,” tukasnya. Joni menduga, kalimat ‘bukan merupakan tindak pidana’ bukan lahir dari kesimpulan penyidik, melainkan pendapat ahli. Pertanyaan berikutnya adalah, berkas SP2HP yang diterima Hakim, tidak pernah dinyatakan penyidik meminta pendapat ahli. “Siapa ahli itu, polisi harus menjelaskan,” tegasnya.
Adnan Topan Husodo, anggota koalisi dari ICW menyatakan apa yang dilakukan kepolisian menangani ‘tembakorupsi’ membuktikan profesionalisme institusi ini buruk. Hal itu menurut dia ungkin disebabkan oleh adanya campur tangan politik. “Bisa dimungkinkan adanya barter politik karena tak ada fraksi di DPR yang menolak pencalonan Timur Pradopo sebagai Kapolri,” begitu analisisnya.
Dikhawatirkan, ‘barter’ politik ini meluas pada perkara besar lain yang melibatkan kader partai lain dan tengah ditangani kepolisian. Menanggapi itu, kepolisian menyilakan pihak yang tidak puas mengajukan praperadilan. “Silakan saja,” ujar Iskandar Hasan. sumber