SPESIALIS HIMNE TENGKU RYO RIZQAN: DARI ‘HUU’ YANG TAK TERDENGAR KE BUNYI JIWA KEBANGSAAN MELAYU
Oleh: Muhammad Joni, SH., MH.,
“Bunyi paling universal bukanlah nada, bukan do-re-mi, melainkan getaran dari jiwa yang mendalam. Itulah ‘Huuu’,”
ujar Tengku Ryo Rizqan dalam satu diskusi panjang kami di serambi FSKN, Forum Silaturahmi Keraton Nusantara.
Tengku Ryo, bukan hanya musisi. Ia bukan sekadar jagoan biola dari tanah Serdang-cum-Langkat. Ia adalah penyalur suara sunyi dari langit ke bumi. Dari batin ke budaya.
Himne ISMI yang bakalan acap berkumandang dalam setiap upacara dan sidang ilmiah kaum cendekia Melayu, bukan disusun dari ruang studio digital, tapi dari ruang tafakur dan zikir, tempat bunyi Huuu menjadi ilham pertama.
“Huuu”: Nada Kosmis dari Langit Tibet ke Tanah Melayu.
Konon dalam tradisi Tibet dan tasawuf, bunyi “Huuu” adalah zikir semesta. Ia tidak terdengar oleh telinga biasa, tapi terasa oleh jiwa.
Tengku Ryo membawa pemahaman itu ke dalam komposisi. Seakan dia berterus terang dan ikhlas kepada lagu. Surah al Ikhlas wahyu bahwa Tuhan Satu, itu bukan budaya baharu: “Qul huu waw lahu Ahad” (قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ).
“Aku tak menulis lagu,” katanya, “aku hanya memindahkan suara jiwa menjadi nada.”
Bunyi “Huuu” baginya adalah simbol awal mula segala bunyi. Dalam kesunyian biola, dalam hentakan gendang Melayu, suara itu menjelma himne:
“Dengan Bismillah Kami Berkarya, Agar Bangsa Tangguh Berdaulat.”
Bukan sekadar baris lagu, tapi baris doa yang hidup.
Musik Ryo: Antara Etika, Hukum, dan Getaran Batin
Sebagai advokat, sebagai anak lelaki dari ayah pemain biola di Tanjungpura, saya tak bisa menahan refleksi: Biola itu seperti hukum.
Ia dimainkan dalam partitur yang ketat, tetapi dibunyikan dengan kelembutan rasa. Ia tidak keras, tapi punya kuasa. Ia tidak berteriak, tapi menggugah. Begitu pula hukum yang hidup (living law): bukan tertulis, tapi terpatri kuat dalam kesadaran pun aksi lelaku masyarakat.
Dalam harmoni musik Ryo, ada logika partitur, tapi juga ada tawadhu’. Ada aturan, tapi ada cinta. Hukum dan musik bertemu di sana—di antara kesetiaan pada konduktor dan kebebasan batin dalam berkarya.
Himne ISMI: Partitur Etika dan Manifesto Budaya
Tengoklah ke dalam lirik-lirik Himne ISMI:
“Ikatan Sarjana Melayu Indonesia
Teguh Berdiri di Panji Pancasila
Kuatkan Barisan Cendikia Bangsa
Berpadu Satu Untuk Indonesia”
Lagu ini adalah lafal indahnya mantra kebangsaan dari kaum intelektual Melayu. Ia bicara tentang: Pancasila, kedaulatan, dan kemajuan, tapi tidak dalam bahasa politik—melainkan bahasa irama, ya.. irama yang spiritualistik dan penuh tata nilai apik.
Di bait lainnya:
“Menjemput Tuah Bangsa Yang Mandiri
Bijak Bestari Dan Kaya Inovasi”
Konsep “Tuah” dalam kebudayaan Melayu, oleh Ryo diterjemahkan sebagai rahmat yang dicari, bukan ditunggu. Sebuah anugerah yang datang lewat usaha, ilmu, dan kesatuan hati.
Himne itu, jika merujuk tafsir ori sang penggubahnya cq. Tengku Ryo, “pesan yang memang disematkan dan hanya bisa terungkap apabila ketajaman akal dan kedalaman Qolbu telah dimiliki”.
Terkait itu, Tengku Ryo ridha spil rahasia batin dari Himne Tanah Melayu, satu karyanya yang lain.
“Di dalam Himne Tanah Melayu, ‘Wahai Tanahku Tanahku Melayu, Engkaulah satu tempatku ber-Ibu’, makna yang dimaksud adalah bukan hanya pada perspektif tanah secara fisik tetapi lebih dari itu adalah Hukum”.
Dan, “Bagi orang Melayu, Hukum yang wahid adalah hukum Allah, dari situlah semua berawal dan berakhir, Ibu dimaknai tempat mengadu dan tempat pulang dengan rasa kerinduan yang ikhlas dan jujur”, ulas Abah Ryo kepada amba, Ahad (6/7/2025).
Living Malays are Living Laws
Saya ingin mengusulkan novelty sebagai satu frasa baru, meminjam semangat Satjipto Rahardjo dan Eugen Ehrlich, yaitu: “Living Malays are Living Laws.”, singkatnya ‘LMLL’.
Karena hukum kudu dibuat bukan hanya produk legislasi teknis-yurridis negara dan (terkadang) mengajak rakyat yang konon atas nama partisipasi bermakna. Tapi tenunan ‘LMLL’ nang iyon ialah sumbangsih dan bakti kearifan normatif Melayu. Dari bangsa Melayu yang kaya raya dalam sumber nilai, filsafafi, doktrina, asas dan norma berjiwa adat dan istiadat yang dirasa dan terjaga. Ia adalah produk jiwa masyarakat bangsanya yang berasa Melayuwi.
Analog dengan Jiwa Bangsa (Volg Geist) dari Friedrich Carl von Savigny, yang meng-himne-kan bahwa hukum suatu negara tidak dibuat legislator begitu saja, melainkan tumbuh dan berkembang dari jiwa bangsa itu sendiri.
Dan jiwa bangsa Melayuwi itu kini berbunyi lewat karya-karya Tengku Ryo. Lewat ‘Journey to Deli’, pun ‘Hymne Tanah Melayu’, dan kini ‘Himne ISMI’. Di sana lah dia menarasikan “musik naratif” bahwa: budaya adalah hukum rasa. Dan bahwa musik adalah bahasa etika yang paling jujur.
Sami’na Wa Atho’na: Konduktor dan Kepatuhan dalam Nada
Musisi tak boleh egois. Ia harus mendengar. Sama halnya dengan warga dalam sistem hukum dan bangsa: “Kami mendengar, kami taat.”
Tapi dalam karya Ryo, ketaatan itu bukan buta. Itu adalah ketaatan karena cinta. Cinta pada harmoni. Pada persatuan. Pada Tuhan. Sami’na wa atho’na dalam musik adalah kesetiaan pada ritme batin, bukan sekadar tempo ketukan.
Epilog: Dari Senar Biola ke Senar Batin
Saya percaya, Tengku Ryo tak hanya menggubah musik—dia menenun “kain” hukum bertitelkan rasa.
Ia menyusun lagu bukan untuk telinga, tapi untuk hati bangsa. Dia menggagas “Narasi Musik Naratif” –yang saya dengarkan Ahad ini– untuk membudayakan nilai Pancasila. Karena falsafah bangsa kudu dibidupkan lewat rasa seni musik a.k.a budaya.
Sebaliknya rasa budaya sumber rumusan norma berjiwa bangsa. Mirip ajaran Friedman tentang sistem hukum. Dan, pembudayaan konstitusi dari Prof.Bagir Manan. Asas lah menenunkan “kain” norma, bukan norma dicocok-cocokkan kepada Asas, begitu ajaran Prof Mahadi.
Dan kini, ISMI memiliki bukan hanya lagu formal organisasi, tapi suara batin kolektif yang diwujudkan lewat narasi musik naratif, itu diantaranya. Sebuah partitur kebangsaan yang dituliskan dan narasi musik dinaratifkan dengan tinta budaya, tinta doa, dan tinta hukum yang hidup. Dengan fonetik dari senar dawai biola kehidupan berjiwa bangsa.
Sebuah hukum dari suara ‘Huuu’ yang tak terdengar, suara tak beraksara tapi selalu terasa, bagi yang paham jalan (tariq) dan caranya disinari “bintang yang bersinar tajam” (An-Najmu Ath-Thaqib).*
Lampiran Lirik Lengkap: Himne ISMI
Ikatan Sarjana Melayu Indonesia
Teguh Berdiri Di Panji Pancasila
Kuatkan Barisan Cendikia Bangsa
Berpadu Satu Untuk Indonesia
Mari Berjuang Tegak Bersama ISMI
Kembangkan Ilmu Membangun Negeri
Menjemput Tuah Bangsa Yang Mandiri
Bijak Bestari Dan Kaya Inovasi
Dengan Bismillah Kami Berkarya
Agar Bangsa Tangguh Berdaulat
Denganlah Ilmu Kami Bertawadhu
Demi Indonesia Semakin Maju
Kuatkan Barisan Besarkan Harapan
Menyongsong Tantangan Zaman Di Hadapan. Semoga Allah Memberi Rahmat-Nya
Bersama ISMI Indonesia Jaya
Tahniah PP ISMI 2025-2030. Mendai. Ahoi.
Tabik.
Penulis: Muhammad Joni, Advokat di Jakarta, Ketua Departemen Sosial Politik Hukum dan Advokasi PB ISMI – Ikatan Sarjana Melayu Indonesia, musyafir de Batavia asal Negeri Langkat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Majelis Pakar MN KAHMI, Sekretaris Dewan Pakar The Housing and Urban Development (HUD) Institute, Sekjen PP IKA USU.