Stunting Melanda ‘Anak Panah’ Dari Surga, Jangan Sampai Lunglai Negara

Tatkala mengenalkan kabinet ‘Indonesia Maju’, Presiden Jokowi ingatkan Menteri Kesehatan Dr. Terawan perihal stunting pada anak.

Problema tumbuh kembang anak, pengecilan volume otak yang rawan penyakit bertitel stunting itu dalam status serius. Prevalensi balita stunted 30,8. Artinya 1 dari 3 anak balita. Ironis, Indonesia peringkat pertama di negara kawasan ASEAN dan rangking ketiga sedunia. Stunting menjadi problema hak anak yang musti diperangi: combating stunting! Stunting juncto brain stunting ancaman bagi proyeksi ‘Indonesia Emas’ 2045.

Gagal perangi stunting beresiko melesetnya capaian gold generation menjadi lost generation. Tak ada pilihan, geliatkan pemenuhan hak anak secara tidak kepalangtanggung. Diupayakan dengan ikhtiar luarbiasa (extraordinary effort).

Hak anak (child rights) adalah hak asasi manusia (human rights). Mereka bukan manusia “kelas dua” sehingga tak tepat  urusan perlindungan hak anak  dinomorduakan atau seakan dianggap  “HAM Kelas Dua”.

Walaupun dalam  teks hukum  dijamin hak-hak anak atas   hidup dan  kelangsungan hidup,  tumbuh kembang,  perlindungan, dan  partisipasi,  namun, ironisnya masih kasat mata dan vulgar anak-anak dihantam kekerasan, dihisap eksploitasi (ekonomi dan seksual),  berkonflik hukum,  dan berbagai situasi darurat.

Semenjak 1990 Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan memiliki tahun 2002 disahkan UU Perlindungan Anak, tetapi mengapa derita anak sang “putra putri kehidupan” itu  masih  kentara  di negeri ini.

Akankah teks hukum yang lunglai atau perkakas Negara tidak efektif bekerja?

Mengapa melindungi anak? Mengapa ada saja yang mengambil peran pelakon takdir sosial melindungi anak?

Itu bukan pertanyaan nyinyir. Itu pertanyaan  yang lekat  dengan sejarah kemanusiaan,  segila apapun perlakuan buruk sejarah kepada anak.

Pernah ada raja digjaya yang menurunkan perintah  bunuh kepada bayi lelaki, tersebab sang raja takut terjungkal tahta.  Namun ada pula  figur pilihan  yang membela dan melindungi, seperti  teladan  Siti Hajar kepada (bayi) Ismail.

Eureka…, sejatinya, insan manusia  itu aktor perlindungan anak yang utama. Bukan semata karena mantan anak-anak, dan pernah menjadi anak, namun dunia anak memang  kaya raya dan tumpah ruah dengan cinta kasih.

Anak adalah zona kebahagiaan. Karena itu, kekerasan ataupun esploitasi anak adalah vis a vis takdir sosial  anak yang  kaya raya kebahagiaan  dan sentrum pertambangan cinta.

Anak adalah orientasi dan sekaligus motifasi bagi orangtua.  Mungkin anda pernah bertemali pengalaman ini.   Alkisah, kerasnya citra dunia kerja di luar  rumah, riuhnya lalu lalang dan jual beli di pasar pagi, atau semberautnya kemacatan jalan pagi dari sore hari Senin di awal pekan,  atau rumitnya urusan pekerjaan kantor yang menumpuk, dipastikan sangat rakus menyedot energi tubuh yang menyisakan kelelahan akut.

Setiba di rumah, energi seorang  ayah  sontak terpancar lagi seusai menemui senyum riang sang anak.

Ranumnya  senyum sang anak memang ajaib.   Tak heran jika dalam menjalani tugas kehidupan,  seorang ayah, ibu, kakek atupun nenek,  kerap berorientasi kepada keluarga. Khususnya berorientasi kepada anak.

Anak adalah oase yang menyejukkan dan memancutkan  sumber daya energi kehidupan. Kahlil Gibran menamsilkannya sebagai “sang busur dan anak panah” yang melesat menuju zamannya. Anak-anakmu  bukan milikmu, mereka putra putri  kehidupan.

Dalam pemikiran  arif tradisional dikenal pula butir bernas yang  memberi tempat  anak  sebagai “buah hati sibiran tulang”.

John Gray  dalam bukunya “Children are from Heaven” menuturkan betapa anak-anak dilahirkan baik dan tidak berdosa. Namun kita bertanggungjawab untuk secara bijaksana mendukung mereka sehingga potensi dan bakatnya tertarik keluar.

Karenanya,  anak-anak membutuhkan kita (maksudnya orang dewasa) untuk membetulkan mereka atau membuat mereka lebih baik.  Anak  bergantung pada dukungan kita untuk tumbuh.

Begitu kuatnya dorongan dan orientasi orangtua kepada  anak, seakan menjadi motifasi  melakukan apa saja untuk anak. Bergiat secara progresif  merealisasikan penuh hak-hak anak.  Istilah  formalnya,  bekerja keras melakukan  “to achieving progressively the full realization”  untuk kebahagian anak.

Di lingkup domestik, kita saakan tak rela  nasib sang anak menjadi sia-sia,  menderita kesulitan,  tak terawat, apalagi teraniaya, tereksploitasi, dan aneka kekerasan pada anak.

Nah, bagaimana orientasi terhadap kita (dan negara) kepada anak jika kita berada masuk ke sektor  publik? Masihkah sama seperti kita berada di dalam keluarga?

Sudahkah orientasi perlindungan  anak  yang  tumbuh  subur  di dalam lingkup domestik-keluarga,   idemditto  menyeruak tumbuh subur  juga di luar rumah alias di sektor publik?

Maksudnya, andai sang ayah atau ibu setakat sebagai aktor penting di dalam domestik-keluarga (atau rumah tangga) begitu kuat perannya dalam perlindungan anak,  andai aktornya sama, akankah perlindungan anak dilakonkan dengan kuat pula  tatkala dalam lakonnya sebagai pejabat publik di luar rumah?

Terbawa dalam arus utama (mainstream) kehidupan berbangsa dan bernegara? Tak sekedar membuat norma.

Sudahkah Pemerintah sebagai  “kepala keluarga”  dan penanggungjawab atas nasib anak-anak Indonesia di sektor publik alias di dalam masyarakat  bangsa dan Negara,  berorientasi kuat kepada perlindungan anak?

Sudahkah  kepentingan anak menjadi motifasi  utama Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan?

Pemikiran mengenai masuknya kepentingan anak dalam urusan bernegara  dikumandangkan penulis ternama asal  Swedia Ellen Key  dengan  karyanya tentang pendidikan Barnets århundrade  (volume   I dan II, 1900),  yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai The Century of the Child (1909).

Ellen Key menulis buku terlaris internasional  The Century of the Child yang mengusung  gagasan dan mengusulkan bahwa dunia anak-anak harus menjadi  pekerjaan utama  masyarakat selama abad kedua puluh.

Meskipun ia tidak pernah berpikir bahwa “abad anak” akan menjadi kenyataan,  pada kenyataannya hal itu jauh lebih resonansi daripada yang bisa ia bayangkan.

Pada beberapa dekade sebelumnya berkembang pandangan yang memberikan posisi penuh anak dalam masyarakat (a fully fledged position in society).

Konsep hak asasi manusia sudah dihantarkan untuk menegaskan bahwa anak-anak adalah manusia (children are human being) dan karenanya pada anak melekat hak asasi manusia (they entitled to all human rights).

Dalam pasal 1 KHA didefenisikan bahwa anak adalah setiap manusia dibawah umur 18  tahun (every human being below the age of 18 years). Konsepsi KHA mengenai masa kanak-kanak (childhood) dan kapasitas hukum penuh (full legal capacity) mengakomodasi posisi hukum yang kompleks yang menghormati batasan masa kanak-kanak dan mayoritas sistem hukum di berbagai kawasan (vide, Savitri Goonesekere,  “Children, Law  and Justice – A South Asian Perspective”, Sage Publication India Pvt Ltd, New Delhi,  1998, p. 79).

Memang,  sangat beragam dan kompleks norma hukum mengenai batasan usia siapa yang dikualifikasi anak, namun menang merah yang bersifat universal dapat ditarik bahwa anak-anak perlu perlindungan.

Disusun dan diakuilah norma universal yang mendefenisikan  setiap orang dibawah 18 tahun sebagai anak.

Kata “every” (setiap atau seluruh) dan kata “human being” (manusia) menjadi penting ditonjolkan.  Kata “every” yang setara dengan “all”, dan kata “human being” juga  ditemukan dalam Universal Declaration of Human Rights dan segenap instrumen HAM utama lainnya.  Tak soal apakah  sudah atau belum kawin, kelompok anak usia bawah 18 tahun itu semestinya  dipenuhi  hak-hak anak sebagaimana  dirumuskan dalam KHA.

Inilah pasal perdana konvensi internasional untuk sang “anak panah” dari surga, bahwa anak bukan manusia “kelas dua”. Jangan biarkan pasal persana sang “anak panah” dari surga bertakdir stunting di dunia. Apa defenisi tanggungjawab khalifatul fil ardhi? Defenisinya adalah: jangan lunglai duhai negara! Tabik.

*Muhammad Joni, SH., MH., Sekjen Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Advokat, jurist constitutionalist.

Leave a Reply