Surat Terbuka kepada Presiden: Moratorium Grasi Bandar Narkoba

Surat Terbuka kepada Presiden: Moratorium Grasi Bandar Narkoba Geger diskon hukuman mati bandar narkoba dengan Peninjauan Kembali (PK) hakim Mahkamah Agung (MA) belum mereda. Menyusul laporan dan pengaduan ke Komisi Yudisial pekan lalu, pada Jumat, 19 Oktober 2012 Kaukus Masyarakat Peduli Anak dari Kejahatan Narkoba menemui Wakil Ketua DPR RI Priyo Budisantoso. Tak cuma soal PK MA, namun diangkat pula Grasi yang dikabulkan Presiden kepada terpidana bandar narkoba.

Kepada Priyo, Kaukus yang terdiri atas DR. Asrorun Ni’am Sholeh, MA dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Advokat H. Ikhsan Abdullah, SH., MH., Muhammad Joni, SH. MH dari Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia (Peran Indonesia), H. Andi Najmi, SH dari Lembaga Penyuluhan daan Bantuan Hukum PB NU (LPBH PB NU), DR. Amisyah Tambunan, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Azhar SH dari GRANAT, Anang Hudallah dari Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU), Ridwan Taiyeb, S.Pd dari Lembaga Studi Agama dan Sosial (eLSAS), menyampaikan Surat Terbuka kepada Presiden RI yang disampaikan kepada DPR RI. Priyo terlihat bersemangat menerima Surat Terbuka dari Kaukus, dan berjanji menyampaikannya kepada Presiden.

Berikut ini dilampirkan kutipan Surat Terbuka tersebut: “Jakarta, 19 Oktober 2012 Kepada Yth : Presiden Republik Indonesia Bapak DR. SOESILO B. YUDHOYONO Di Istana Negara.

SURAT TERBUKA disampaikan melalui Yang Terhormat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Gedung Nusantara I Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta 10270 di JAKARTA

Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan Hormat,

Salam sejahtera kami sampaikan kepada Bapak Presiden, semoga Alloh SWT senantiasa memberikan bimbingan dan hidayah kepada Bapak dalam menjalankan tugas sebagai Presiden Republik Indonesia.

Yth. Bapak Presiden.

Kami, Kaukus Masyarakat Peduli Anak dari Kejahatan Narkoba melalui surat ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat kami kepada Bapak Presiden dan demi kepentingan terbaik bagi anak-anak Indonesia, kami menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas situasi dan kondisi peredaran, penggunaan dan efek yang sangat buruk dan serius narkoba di Indonesia.

Kami dan seluruh rakyat Indonesia juga memahami betapa kompleks dan sulitnya pengananan kejahatan narkoba sebagai kejahatan serius (serious crimes) dan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Oleh karena itu, sudah sepatutnya penanggulangannya juga dilakukan dengan upaya/ikhtiar serius (serious effort) dan upaya/ikhtiar luar biasa (extraordinary effort), dan karenanya tidak dilakukan dengan upaya/ikhtiar biasa-biasa saja apalagi alakadarnya.

Berkenaan dengan upaya/ikhtiar serius dan upaya/ikhtiar luar biasa itu, maka kami merasa sangat prihatin dan mengusik rasa keadilan masyarakat, tatkala mengetahui adanya Putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) dalam hal ini Hakim-hakim Agung H. M. Imron Anwari, SH., Sp.N.,MH. dan H. Achmad Yamanie, SH., MH. dan Prof. Dr. H.M. Hakim Nyak Pha, SH.,DEA., Nomor : 39 PK/Pid.Sus/2011 yang kami rasakan sangat meresahkan dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Kendatipun secara formal lembaga peradilan memiliki kemandirian, namun rasa keadilan masyarakat adalah sumber hukum yang esensial dan semestinya menjadi ruh, motifasi dan orientasi dalam penegakan hukum, apalagi dalam penanganan kejahatan narkoba yang merupakan kejahatan serius dan luar biasa serta terorganisir.

Menurut hemat kami, Putusan PK MA dimaksud, tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, dan melemahkan semangat pemberantasan kejahatan narkoba yang sangat mendapat dukungan dari Bapak Presiden. Semestinya, bangsa dan negara Indonesia ini tidak kalah dengan kejahatan narkoba dan segala upaya melemahkan komitmen gerakan nasional pemberantasan kejahatan narkoba, termasuk dan terutama lembaga yudikatif.

Bapak Presiden Yth.

Berkenan kami menambahkan, apabila menelisik Putusan PK No. 39 PK/Pid.Sus/2011 tersebut, Majelis Hakim PK memberikan pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa Hukuman Mati bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Menurut hemat kami, perihal apakah hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, adalah bukan kompetensi hakim PK aquo namun sudah sangat terang dan jelas merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga pertimbangan hukum dimaksud, justru secara hukum relevan dan tidak beralasan.

Lagi pula hukuman mati dalam sistem Hukum Pidana Indonesia masih berlaku sebagai hukum positif dan karenanya dapat diterapkan, termasuk pula hukuman mati tersebut sudah pernah dilakukan pengujian ke MK, dan berdasarkan Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 tertanggal 30 Oktober 2007, hukuman mati masih eksis, berlaku dan konstitusional. Oleh karena itu, pertimbangan hukum majelis hakim PK dimaksud, justru melanggar dan tidak sesuai dengan Putusan MK. Yang berarti pula melanggar UUD 1945.

Sampai dengan saat ini tidak kurang dari 10 (sepuluh) Undang-Undang dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), yang telah diratifikasi pada tanggal 28 Oktober 2005. Undang-undang yang mencantumkan ancaman pidana mati, antara lain :

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946;
  2. UU Daurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api;
  3. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
  4. UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
  5. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  6. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang;
  7. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  8. UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; 9)UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang ICCPR.

Hal ini jelas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia tidak bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga oleh Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945. Dengan demikian, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Bahwa di dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), yang telah diratifikasi pada tanggal 28 Oktober 2005 menyatakan “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang”.

Dalam hal ini, hukuman mati tidak bertentangan dengan HAM, sebab, pelaku kejahatan yang dihukum mati dapat dikatakan telah melakukan kejahatan atas HAM itu sendiri.

Bapak Presiden Yang Terhormat, Tak pula kami bisa menyembunyikan kegundahan, tatkala mengetahui dan tersiarnya berita pada media massa perihal terbitnya Keputusan pemberian Grasi dari Presiden kepada terpidana kejahatan serius narkoba yang justru merupakan pelaku produsen dan pengedar narkoba, yakni Deni Setia Maharwan dari putusan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup, sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 7/G/2012 tertanggal 25 Januari 2012, dan pemberian Grasi kepada Merika Pranola yang mengubah dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 35/G/2011 tertanggal 26 September 2011.

Bapak Presiden Yth.

Kami sangat mengerti dan menghargai bahwa pemberian Grasi merupakan kewenangan dan hak konstitusional Presiden, namun seyogyanya dapat dipergunakan secara selektif dan searif mungkin. Dengan menyadari kompleksitas masalah kejahatan serius, luar biasa dan terorganisir narkoba itu, berkenan kami memberikan pendapat agar Bapak Presiden berkenan untuk tidak memberikan Grasi kepada pelaku kejahatan serius, luar biasa dan terorganisir narkoba.

Kami berkeyakinan dan menaruh harapan kepada Bapak Presiden sebagai negarawan yang dapat memelihara rasa keadilan masyarakat dan demi menjaga, melindungi serta demi kepentingan terbaik anak-anak Indonesia dari serangan sindikasi kejahatan narkoba. Kejahatan narkoba ini sangat nyata mengancam masa depan anak-anak Indonesia, dan karenanya mengancam generasi muda bangsa sebagai pelanjut cita-cita Proklamasi, Pembukaan UUD 1945, UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berkenan kami menyampaikan kepada Bapak Presiden, bahwa tidak kurang dari 50 orang meninggal sia-sia setiap hari, dan tidak kurang dari 2,4 juta korban narkoba yang saat ini perlu segera memperoleh rehabilitasi mental dan penanganan serius. Karena itu, menurut hemat kami pemberian Grasi pasti menjadi faktor yang dapat melemahkan gerakan melawan narkoba dan mengurangi efek jera terpidana dan pelaku kejahatan narkoba.

Dengan berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dengan segala hormat dan harapan kepada Bapak Presiden, berkenan kami menyampaikan beberapa butir kebaikan penanggulangan kejahatan narkoba, yaitu:

  1. Melanjutkan gerakan memerangi kejahatan serius, luar biasa dan terorganisir narkoba sebagai kesadaran penuh bagi eksekutif, legislatif dan judikatif serta seluruh komponen bangsa dan rakyat Indonesia;Kiranya Bapak Presiden berkenan memberikan penjelasan kepada publik tentang dasar pertimbangan Keputusan pemberian Grasi kepada bandar narkoba tersebut;
  2. Mengharapkan agar Bapak Presiden RI mengambil kebijakan agar tidak memberikan Grasi kepada pelaku terorganisir produsen/pengedar narkoba. Kami mengusulkan Maratorium Grasi untuk produsen Narkoba.
  3. Mengharapkan dukungan nyata Presiden RI dalam mengoptimalisasi gerakan masyarakat memerangi kejahatan serius, luar biasa dan terorganisir narkoba, dengan mendukung gerakan kami membangun partisipasi luas dan massal masyarakat dalam pencegahan dan perlindungan anak-anak dari seragan narkoba. Untuk itu, kami mengambil inisiatif mendorong berfungsinya Satuan Tugas (Satgas) Memerangi Kejahatan Narkoba, yang dapat diselenggarakan pada setiap unit satuan pendidikan, unit perguruan tinggi, unit desa/kelurahan, dan unit organisasi massa (ormas), serta segenap potensi dan komponen bangsa Indonesia, yang diorganisir secara luas dan menasional. Untuk maksud itu, kami siap bersinergi dan berkoordinasi dengan jajaran Pemerintah RI.

Kami menaruh harapan sembari berdoa kehadirat Allah SWT, semoga kiranya Bapak Presiden diberikan kekuatan yang luar biasa sebagai pemimpin bangsa Indonesia dalam memerangi kejahatan narkoba.

Demikian Surat Terbuka ini disampaikan, dan kami berharap Bapak Presiden berkenan mendengar keprihatinan dan kegelisahan kami, putera-puteri Ibu Pertiwi. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Hormat kami,

KAUKUS MASYARAKAT PEDULI ANAK dari KEJAHATAN NARKOBA

DR. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA. Ketua Divisi Sosialisasi KPAI

MARIA ADVIANTI, SP. Sekretaris KPAI

MUHAMMAD JONI,SH,MH Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia

H.IKHSAN ABDULLAH,SH, MH Advokat

H. ANDI NAJMI, SH. Ketua LPBH PB NU

DR. AMIRSYAH TAMBUNAN Wakil Sekjen MUI

ROFIQUL UMAM ACHMAD,SH, MH. Sekretaris Komisi Hukum MUI

AZHAR, S.H Sekjen GRANAT

ANANG HUDALLAH. Pimpinan Pusat IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama)

RIDWAN TAIYEB, S. Pd. Lembaga Studi Agama dan Sosial (eLSAS).

Leave a Reply