Tak Ada Alasan Memaksa, MKI Ajukan Uji Materil Perpu MK

Perlawanan publik terhadap Perppu No.1/2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) belum berhenti. Hari ini, Kamis (24/10) pukul 14.54 WIB sebanyak 8 advokat dan warga masyarakat pegiat hak konstitusi dari Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) mendaftarkan uji materil Perppu No. 1/2013 ke MK.

Uji materil atas nama MKI ini diajukan advokat dan warga masyarakat yakni Muhamamd Joni, Khairul Alwan Nasution, Fakhrurrozi, Zulhaina Tanamas, Mukhlis Ahmad, Triono Priyo Santoso, Hadi Ismanto dan Baginda Dipamora Siregar.

Berbeda dengan pendapat pakar hukum Prof Yusril Ihza Mahendra yang mendalilkan Perppu bukan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK). MKI dalam siaran persnya kepada Sayangi.com, menyatakan MK berwenang menguji Perppu mengacu Pasal 7 ayat (1) huruf c UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Materi muatan Perppu setara Undang-undang, hal mana sesuai yurisprudensi MK yang mengadili Perppu sebagaimana perkara Nomor 138/PUU-VII/2009.

Menurut ketua MKI, Muhammad Joni, konsiderans “Menimbang” huruf b Perppu No. 1/2013 bukan keadaan yang otentik dan sebenarnya karena “mesin” MK masih efektif menjalankan tugas konstitusionalnya. Segala putusan MK terdahulu yang bersifat final dan mengikat, tidak ada yang dibatalkan atau dianulir. Tak ada delegitimasi kekuasaan konstitusional MK.

“Aneh jika muncul frasa ‘adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi’ dalam konsideran Perppu No.1/2013 karena bukan keadaan yang sebenarnya mengenai integritas dan kepribadian hakim konstitusi,” kata advokat yang akrab dipanggi Joni ini.

Terkait hakim konstitusi asal partai politik, Perppu No. 1/2013 tidak “me-retool” hakim konstitusi dari partai politik sebagai alasan kegentingan memaksa. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf i Perppu No.1/2013 tidak menjawab keadaan memaksa, walaupun mengasumsikan hakim konstitusi harus dijauhkan dari anasir partai politik. Jangan sampai menormakan pasal itu seperti “menepuk air didulang”, karena selama ini eksekutif justru mengusulkan hakim konstitusi berasal dari partai politik.

Pengawasan hakim konstitusi

Masih menurut MKI, Ihwal pengawasan hakim konstitusi, rujukan primernya adalah UUD 1945. “Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta Komisi Yudisial yang bersifat mandiri (vide Pasal 24B ayat (1) UUD 1945),” kata Joni.

Kekuasaan Komisi Yudisial hanya mengusulkan calon hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (vide Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945). “Dari sumber primer UUD 1945 itu, tidak ada kekuasaan Komisi Yudisial mengusulkan calon hakim konstitusi, namun hanya hakim agung. Kedua norma dasar (gerund norm) itu, yakni Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dirumuskan secara sadar dan konsisten sehingga tidak ada ruang penafsiran lagi. Kedua pasal UUD 1945 itu adalah norma dasar yang tetap dan pasti. Keduanya adalah Hukum yang Mutlak (Strict Law),” jelas pria berkumis ini.

Mengenai syarat calon hakim konstitusi tidak anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun versi Pasal 15 ayat (2) huruf i. “Tidak jelas rasio legis-nya. Itu tidak menjamin imunitas kekuasaan kehakiman yang merdeka menegakkan keadilan”.

Karakter kekuasaan kehakiman mengawal konstitusi berbeda dengan karakter partai politik yang mengawal kepentingan politik. Kua teknis, hakim konstitusi berbasis kemampuan profesional hukum dan konstitusi sedangkan partai politik berbasis elektabilitas politik dan kepentingan politik jangka pendek, bahkan dalam kasus tertentu bersifat transaksional politik.

“Itu sebabnya Kekuasaan Kehakiman bukan hanya profesional namun mesti merdeka atau independen secara total. Yakni independen secara fungsional, institusional, organisatoris, dan independen etis. Karena itu, patut jika untuk menciptakan hakim konstitusi yang merdeka atau independen mestinya tidak berasal dari partai politik, atau sedikitnya minimal 10 tahun terlepas dari partai politik.” tegas Joni.

Ihwal pengawasan hakim, kata Joni, telaahnya tak lain mesti tetuju pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang ditempatkan pada BAB X tentang Kekuasaan Kehakiman, dimaktubkan setelah Pasal 24A UUD 1945. Itu bukan tanpa maksud, namun dimaknai dalam relasi kekuasaan antara Komisi Yudisial dengan hakim agung untuk pengawasan hakim agung, bukan hakim konstitusi. Telaah konstitusi itu sesuai dengan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 bahwa pengawasan hakim konstitusi tidak menjadi wewenang Komisi Yudisial.

Demikian juga, “Peraturan Bersama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial”, bukan hanya bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, namun “Peraturan Bersama” tidak dikenal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

Terakhir, Pasal 27A ayat (14) Perppu No. 1/2013 frasa “sekretariat yang berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial” bertentangan dengan Pasal 24A UUD 1945, karena Kekuasaan Kehakiman adalah merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (VAL)

Leave a Reply