“Tak Ingin Menemui Senin”
Suatu Ahad. Air bening mengalir. Membentuk kali mungil. Swaranya molek. Berdamai-harmoni. Dengan kicauan jangkrik dan kibasan daun-daun di ujung ranting.
Semakin rajin toleh menoleh ke tempat tinggi. Tenaga air seperti nyata. Berdenting-denting. Menembus pori-pori dinding. Terpelanting-pelanting ke tubuh tebing. Seakan perkumpulan air bening tak pernah sekarat kering. Corak merah terang kembang-kembang bermahkota, dan hijau tua rerimbun daun pohon-pohon jangkung.
Makin berbinar ditimpa surya pagi hari. Yang ikhlas bersinar tanpa suara. Tiada secuil keangkuhan, ataupun sebaris frasa promosi dan kampanye tinggi hati. Tiada iri ataupun “black campaign” kepada takdir bunga setaman semesta dan belaian udara segar tak berwarna.
Khusuk per-tapa pun makruh tergoda akan molek “jejak-jejak Tuhan” di semesta raya yang tersisa di tubuh tebing ramping. Tak cuma dalam tindak kelakuan, racikan pikiran patik pun menggeliting. Menggeliting menyukai ekosistem buatan Ilahi Robbi Yang Maha TerPenting. Menggeliting kepada Tuhan. Seperti ingin terus perai Ahad. Tak ingin menemui hari Senin.
Selain berkawan dengan gemulai malam, dan berkerabat eksotika rembulan. Aku ingin menjadi Subyek, bertemankan keajaiban air, yang dicurahkan dari langit. Berjam-jam di tempat ini, hari-hari adalah puisi. I’m in Poem. I’m in God. Tabik.
(Muhammad Joni)