Terbakarnya ‘Kota Satelit’, Apa Kabar Sertifikat Layak Fungsi?

Bellevue sebuah kota satelit yang terletak di wilayah Eastside di County King, Washington, USA. Bellevue itu sub-urban terbesar di Seattle.

Bukan Bellevue kota satelit di Washington, nama Bellavue menjadi titel apartemen di Cinere, Depok. Bellevue Cinere itu kini menjadi perhatian publik karena mengalami kebakaran.

Suasana kalut yang akut terasa kala penghuni Bellevue dalam kengerian dan ketakutan yang detik demi detik mencekam selama hampir 24 jam. Pasukan pemadam bertarung melawan amuk api dan sergap asap pekat dari kebakaran apartemen Bellevue.

Drama ketakutan yang melanda komunitas “negeri di awan” itu menjadi pelajaran berharga mengatur pembangunan dan pengelolaan serta penghunian apartemen.

Dahsyatnya, kobar lidah api yang menjilati tubuh jangkung apartemen Bellevue yang berhampiran dengan Mall itu, baru bisa ditaklukkan dalam masa hampir 24 jam, seperti ditulis koran Kompas (6/10).

Ironisnya, petugas pemadam kebakaran mengalami kesulitan dan kekurangan alat yang memadai dalam menjinakkan api.

Apartemen yang masih terbilang baru itu, masih menurut versi warta media, terbakar dari sebuah ruang bagian bawah alias basement 3 itu merambat naik ke atas. Tentu ada sebab, mengapa tidak bisa melokalisir api?

Walau demikian, penelitian laboratorium forensik musti dilakukan untuk menjelaskan sebab-sebab kebakaran.

Kalau apartemen itu tergolong relatif baru, mengapa kebakaran bisa terjadi?

Layakkah sebagai hunian gedung tinggi menjulang, itu pertanyaan yang musti menghinggapi pengelola apartemen setiap menitnya. Karena kebakaran bisa melejit dalam hitungan menit. Pun ikhtiar menyelamatkan satu jiwa manusia bisa dalam satuan menit saja.

Kalau diwartakan asal api berasal dari basement 3 bawah tanah, pasti ada sebab mengapa kebakaran bisa meninggi naik?

Soal-soal teknis seperti itu patut diajukan karena menyangkut akuntabilitas kelayakan gedung sebelum pelaku pembangunan menyerahkan dan menggunakan apartemen kepada konsumen.

Sertifikat Layak Fungsi

Kua normatif, sebelum digunakan bahkan sebelum dilakukan penyerahan kepada konsumen, wajib mengantongi Sertifikat Layak Fungsi (SLF).

SLF adalah kewajiban yang melekat pada pelaku pembangunan sebagai jaminan (quality assurance) atas mutu barang yang dijual dalam hal ini satuan/unit apartemen yang satu kesatuan menjadi menara apartemen.

Pelaku pembangunan berkewajiban atas penyerahan barang sarusun pada apartemen dalam keadaan aman digunakan.

Merujuk Pasal 39 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), SLF terbit jika pembangunan sudah selesai seluruhnya. Namun bisa pula jika hanya selesai bertahap (sebagian).

Maksudnya, walaupun pembangunan rusun atau apartemen selesai bertahap, maka serah terima pertama kali dapat dilakukan setelah rusun atau apartemen sudah mendapatkan SLF.

Sebagai gedung tinggi yang beresiko tinggi, wajar malah wajib melindungi penghuni atau konsumen. Berbahaya jika sarusun/unit apartemen diserahkan dan dipergunakan tanpa SLF.

Soal itu musti dipastikan tanpa toleransi. Pengaturannya musti ketat dengan standar tinggi.

Namun tunggu dulu, apakah soal itu menjadi perhatian pembuat aturan? Mari sekelak mencermati kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat (2) RPP Rusun yang berbunyi: “Dalam hal pembangunan rumah susun dilakukan secara bertahap maka serah terima pertama kali dapatdilakukan setelah rumah susun mendapatkan SLF”.

Artinya? Terkesan SLF tidak bersifat wajib, namun dapat dilakukan serah terima pertama kali sarusun. Mengapa? Sebab ada sisipan kata “dapat” bukan “wajib” dalam rancangan RPP Rusun itu.

Soal ini agaknya bermula dari Pasal 39 ayat (1) Rusun yang menggunakan frasa “Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan sertifikat layak fungsi ….”.

Ahaaa.., jadi yang dinormakan hanyalah wajib “mengajukan permohonan SLF” apabila telah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan. Bunyi normanya bukan “wajib memiliki SLF”.

Pembaca. Andai bisa membujuk Pemerintah pembuat RPP Rusun, musti disarankan kata “dapat” dalam RPP Rusun dihilangkan. Lebih pas jika digantikan dengan kata “wajib”.

Ada beberapa kata kunci yang menjadi tema penting ikhwal penyerahan pertama kali, yakni (1) pembangunan rusun atau apartemen selesai secara bertahap atau seluruh, (2) Sertifikat Layak Fungsi (SLF), (3) berita acara serah terima pertama.

Jika digabung, penyerahan pertama kali dapat dilakukan setelah terbit SLF. Tidak boleh ditoleransi.

Selain itu, dalam hal pembangunan rusun atau apartemen yang selesai bertahap tentu bakal terbit SLF versi berikutnya. Untuk menara berikutnya.

Hal ini penting diwaspadai, sebab bisa terjadi penyerahan sarusun/unit apartemen tahap berikutnya, namun menggunakan SLF yang sama. Ini musti diwaspadai dan hak konsumen bertanya memastikan SLF.

Kepada Pemerintah diimbau segera mengesahkan RPP Rusun. Juga diminta Pemerintah Daerah mengatur ketat kelayakan pembangunan, pengelolaan dan keamanan penghunian rusun atau apartemen.

Building Inspector

Beralasan pula menyediakan tenaga inspeksi gedung tinggi seperti apartemen itu. Kalau untuk tenaga kerja ada Labour Inspectors atau pengawas ketenagakerjaan, perlu digiatkan suatu Building Inspector yang rutin dan tersistem melakukan pengawasan dan pengendalian gedung tinggi bernama apartemen atau menara itu.

Perlu dipastikan upaya Building Inspectors yang rajin dan rutin dengan standar tinggi mengawasi, memeriksa dan mengantisipasi resiko sekecil apapun. Dengan standar pengawasan tinggi zero toleransi.

Building Inspectors ini musti aktif melakukan pengawasan dan pengendalian apartemen, agar mencegah keadaan darurat, kecelakaan, seperti kebakaran yang mengerikan.

Kebakaran pada gedung tinggi semakin rentan, jika SLF hanya sebagai kertas dokumen untuk memenuhi anasir perijinan saja, hanya syarat formal penyerahan semata.

Bagaimanapun, SLF tidak bisa beraksi segera memadamkan api.Tidak bisa cepat tanggap melawan sergapan asap. Apalagi tanpa alat yang memadai.

Dibutuhkan sistem pengawasan dan pengendalian dengan Building Inspector yang rajin dan tabah melawan godaan dan cabaran lapangan.

Maksud asli SLF itu sebenarnya menghendaki pengendalian, pengawasan dan inspeksi yang rutin dan rajin. Yang terbit sebagai sistem pengawasan dan pengendalian.

Demi menjamin nyawa dan hak hidup manusia. Hak hidup adalah hak utama (supreme right) yang tidak boleh dikurangi.** (MUHAMMAD JONI, Sekretatis Umum HUD Institute; Founder/Managing Director Smart Property Consulting (SPC), konsultan hukum perumahan)

Leave a Reply