Terngiang ”Mutilasi” Ayat Tembakau
Heboh raibnya ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan yang disahkan tanggal 14 September 2009 menggegerkan jagat legislasi nasional. Harian Media Indonesia(Kamis, 15/10) menurunkan editorial bertajuk ”Ayat Tembakau Skandal Amat Serius”, antara lain bersikap ”penghilangan ayat tembakau dari UU Kesehatan sesungguhnya bukanlah biasa” . Ayat yang mengatur pengendalian zat adiktif termasuk tembakau itu, diketahui hilang dari Pasal 113 UU Kesehatan setelah disahkan paripurna DPR.RI menjelang akhir masa jabatannya. Namun ”mutilasi” ayat tembakau menyisakan jejak.
Sore itu kami berkumpul di suatu tempat masih sekitar Cikini. Kisah tragis ini dibahas. Dari pertemuan rutin pegiat tobacco control, dengan sedikit teknik ”legislasi forensik” bukti penghilangan itu terungkap karena Penjelasan ayat (2) UU Kesehatan masih tertera utuh dalam naskahnya. Tentu dengan beberapa bukti dan saksi lain. Kesimpulannya, tragedi ini harus diungkap ke publik. Masyarakat berhak tahu mengapa terjadi ”mutilasi” ayat tembakau, komentar saya haqqul yakin. Jangan hanya menunggu di Mahkamah Konstitusi.
Seorang senior pegiat anti tembakau yang rajin memantau sidang paripurna DPRRI, pas tanggal 14 September 2009, beliau meyakini benar masuknya ayat tembakau dalam naskah UU Kesehatan versi sidang paripurna. Artinya, ayat tembakau sah sebagai produk legislasi, tinggal menunggu penomoran dan sedikit prosedur untuk Lembaran Negara.
Langkah pengungkapan dimulai. Diskusi kecil dan jumpa pers bertajuk ”Korupsi Ayat Tembakau” digelar menyikapi temuan itu. Hasilnya? Berhari-hari heboh ayat tembakau itu menyita perhatian publik sampai dengan pernyataan Menteri Kesehatan, Menteri Sekretaris Negara, Ketua Mahkamah Konstitusi, kalangan panitia khusus parlemen yang dulu membidani, dan Sekretaris Jenderal DPRRI.
Opini dan polemik bergulir mendukung pengembalian ayat tembakau. Syukurnya, tanpa banyak ”perlawanan” ayat (2) Pasal 113 UU Kesehatan akhirnya kembali ke pangkuan naskah UU Kesehatan. Menjustifikasi tembakau sebagai salah satu zat adiktif. Faktor kesalahan teknis yang menjadi alasan pembenar dikumandangkan berkal-kali, namun dalih itu kurang masuk akal sehat. ”Ini kejahatan teks yang tidak menggorok, tetapi dalam jangka panjang membunuh banyak orang. …penghilangan ayat tembakau bukanlah semata kesalahan teknis, namun kesengajaan”, tulis editorial Media Indonesia.
Siapakah yang bertanggungjawab? Tidak ada yang mengakui dan mengambil alih tanggungjawab raibnya ayat tembakau UU Kesehatan yang tidak lain idemditto dokumen negara. Sebetulnya, tak sulit menjatuhkan dugaan rasional adanya delik kesengajaan pemalsuan dokumen hukum itu. Tidak tepat kalau ada ahli yang berkomentar belum ada peraturan hukum yang menjerat pemalsuan dokumen negara itu. Pemalsuan dokumen negara merupakan delik pidana yang diancam dalam KUHP.
Kuat dugaan, adanya pernormaan tembakau sebagai zat adiktif yang menguatkan syahwat memutilasi ayat adiksi tembakau. Selama ini di Indonesia masih korversial secara hukum formal apakah tembakau alias rokok bersifat adiktif. Walaupun jumhur ahli kesehatan se-planet ini mengaku kebenaran ilmiah sifat adiktif dan karsinogenik rokok, namun ajaib, penormaannya belum menjadi hukum positif.
Lagi pula, tembakau alias rokok bukan barang normal seperti halnya air mineral atau mangga harum manis atau durian medan. Tidak benar jika merokok diperlakukan dengan teori personal choise (pilihan personal) dimana konsumen dipersilakan secara bebas dan personal memilih merokok atau tidak merokok.
Sejatinya rokok bersifat adiktif, karsinogenik, mematikan (tobacco kills), dan menyebabkan aneka ragam penyakit. Badan kesehatan sedunia, WHO bertitah bahaya merokok sebagai epidemi global. Philip Moris International yang memproduksi merek rokok terkenal dan market leader di Indonesia mengakui “there are no such thing a ‘safe cigarettes” [www.philipmorrisinternational.com].
Menurut WHO, rokok adalah pembunuh yang kini dianggap ’bukan basa-basi’. Setiap 6 detik satu orang meninggal karena merokok. Ahli-ahli kesehatan di dunia membuktikan merokok penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan, penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular), penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS, dan 70.000 artikel ilmiah menunjukkan merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut, kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah, pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma, dan saluran nafas. Studi Ekonomi Tembakau versi Lembaga Demografi FE UI (2008) menyebutkan konsumsi rokok penyebab sampai 200.000 kematian per tahun.
Dengan demikian, secara normatif menguapnya ayat tembakau itu meruntuhkan tembok utama dan satu-satunya dalam pertahanan pengendalian tembakau. Setelah belasan tahun berlindung dibalik kontroversi rokok barang legal versus zat adiktif, dan bersembunyi diselimut hukum positif yang tidak tegas menormakan tembakau sama dengan adiktif.
Implikasinya, iklan rokokpun diperbolehkan dan dimanfaatkan industri tembakau membeli siaran iklan yang dijual perusahan penyiaran televisi. Menjadi medium memutarbalikkan fakta bahwa rokok yang subtansinya adalah racun dicitrakan sebagai benda normal. Akibatnya, anak-anak dan remaja yang paling tertipu dengan iklan rokok, karena tema iklan rokok bersentuhan dengan kaum muda belia itu. Buktinya, slogan iklan rokok dicitrakan sebagai enjoy aja, kejantanan, kebersamaan, bakat dan ekspresi.
Dengan strategi iklan, anak-anak dan remaja terpesona dengan ilusi rokok. Fakta yang dihimpun Komnas Perlindungan Anak, anak dan remaja tergiur rokok karena pengaruh langsung iklan, utamanya dari kotak ajaib bertitel televisi.
Menjerat anak dan remaja dengan sifat adiksi rokok agar menjebaknya sebagai perokok pemula untuk pengganti (substitution) perokok tua yang taubat, meninggal, dan menginisiasi ketaatan (loyality) pada merek pertama yang dikonsumsi. WHO Indonesia & Departemen Kesehatan RI dalam fact sheetbertajuk ”Larangan menyeluruh iklan, promosi dan pemberian sponsor”, No. 04/2/2004, mengungkap ”Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok …, pola perokok remaja penting bagi Philip Morris”. (Laporan Penelitian Myron E. Johnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Philip Morris, 1981).
Kembali ke soal ayat tembakau yang hilang. Dengan pulihnya ayat (2) Pasal 113 UU Kesehatan, maka penerapan hukum menjadi makin pasti. Mestinya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa segera melarang iklan rokok pada siaran televisi dengan dasar ayat (2) Pasal 113 UU Kesehatan. KPI tidak harus tersandera UU Penyiaran karena menurut Pasal 46 ayat (3) huruf b, siaran iklan dilarang mempromosikan minuman keras dan zat adiktif.
Menggunakan sedikit tafsir sistematis atas UU Penyiaran dan UU Kesehatan ini (namun dengan lebih banyak akal sehat, rasa keadilan dan hati nurani), pelarangan iklan rokok bisa dimulai KPI. Setelah ini pegiat pengendalian tembakau akan mengadvokasi KPI. Disinilah salah satu implikasi hukum penghilangan ayat tembakau itu bisa meluas pada penegakan hukum yang makin pro pengendalian tembakau.
Kini, ayat tembakau telah kukuh dalam pangkuan UU Kesehatan. Walaupun bertubi-tubi gugatan judicial review diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun pasal itu tetap dipertahankan kaum jubah merah di MK. Saya yang terlibat dalam mempertahankan pasal itu di MK, menimba pengalaman berharga betapa kuatnya daya tarik mempertahankan eksistensi jualan rokok di negeri ini. Namun kita patut bersyukur atas hasil itu. Bangsa ini masih waras dari pemikiran yang mengganggap tidak benar zat adiktif membahayakan. Lebih lagi, Badan Kehormatan DPR pun sudah memutuskan adanya kesalahan dalam hilangnya ayat tembakau. Itulah fakta yang tak tersembunyikan lagi.