Turunkan Usia Pemilih: 16 Tahun!
Usia 17 tahun seperti mitos demokrasi. Betapa tidak? Anak usia 12 tahun dapat disidik oleh otoritas negara. Usia 14 tahun bisa dilakukan penahanan jika terbukti melakukan tindak pidana. Keduanya adalah tanggungjawab pidana (criminal liability) kepada Negara. Lantas, adilkah jika Negara memberikan hak memilih dalam pemilihan umum bagi orang muda baru pada usia 17 tahun?
Usia berapa yang otentik sebagai pemilih? Kua normatif, berdasarkan UU Pilpres mematok batas usia pemilih 17 tahun atau sudah/pernah menikah. Masihkah tepat mematok usia 17 tahun batas usia memilih hak memilih (right to vote)?
Lain lagi ihwal kualifikasi orang “sudah/pernah menikah” yang agak menyimpang dari tema right to vote yang merupakan rezim hak politik alias hukum publik. Sedangkan kualitas dan perbuatan “sudah/pernah menikah” masuk rezim hukum perdata. Karena itu, dibukanya suatu opsi tambahan “sudah/pernah menikah” untuk dianggap dewasa politik atau mempunyai hak memilih adalah pikiran keliru yang mencampuraduk ‘anugerah’ konstitusi atas hak politik warga negara dengan urusan perbuatan perdata.
Lantas bagaimana jika anak usia 12 tahun sudah menikah? Diakuikah elokkah dinaikkan hak politik orang dalam pernikahan bawah umur dan tak dicatatkan alias nikah siri yang dilarang Undang-undang (UU)? Akankah hak politiknya di-up grade diakui sebagai pemilih? Walau melanggar ketentuan UU?
Sulit mencari justifikasi mengapa warga sudah/pernah kawin yang merupakan perbuatan perdata, lantas ditingkatkan hak politiknya sebagai pemilih.
Perlakuan ini merupakan pembedaan atas kelompok warga usia belum 17 tahun (katakanlah 16 tahun) yang karena kesadaran positifnya menunda pernikahan.
Perlakuan berbeda ini sama saja dengan membiarkan adanya diskriminasi norma UU Pilpres dalam demokrasi di negeri ini. Diskriminasi atas suatu kelompok suatu hal yang inskonstitusional dalam landmark decitions putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan hak pilih keluarga bekas anggota organisasi terlarang PKI dan organisasi massanya, sebagaimana putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003 terkait pengujian UU Pemilihan Umum.
Di Swedia, tahun 1996 ‘Commission on Age Limits’ menyusun proposal menurunkan usia memilih. Hak memilih warga diturunkan menjadi 16 tahun. Alasannya? “…for a broader democratic base with allows as many resident as possible to participate in decition making”. Gerakan itu dikenal sebagai Politik untuk orang muda, atau “Politik for Unga”, dalam bahasa Swedish.
Menurunkan batas usia pemilih mempunyai hak politik (rights to vote) bukan tanpa rujukan. Sebelumnya di Jerman, otoritas di negeri itu membuat terobosan politik menarik. Warga Jerman yang berusia 16 tahun dibolehkan untuk memberikan suaranya di pemilu negara bagian. Pemerintah kota Bremen menurunkan usia pemilih karena ingin menarik minat kalangan muda terhadap politik.
Diwartakan, tahun 2012 lalu Argentina menyetujui undang-undang yang menurunkan usia pemilih menjadi 16 tahun. Walau langkah itu dituding sebagai langkah yang memperkuat blok populis Presiden Cristina Kirchner menjelang pemilu legislatif tahun depan. Dewan Deputi menyetujui aturan baru yang yang disponsori mantan kepala staf Kirchner dan telah disetujui Senat, dengan suara mayoritas. Sejumlah 131 suara setuju dibandingkan dengan dua suara yang menentang dan satu abstain (http://id.berita.yahoo.com/argentina-turunkan-batas-usia-pemilih-wajib-103803180.html).
Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) menggagas ulang menurunkan batas usia pemilih menjadi 16 tahun. Alasannya? Untuk menyegarkan demokrasi yang sumpek dan memperluas kesempatan orang muda dalam partisipasi politik, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk mempermuda lapisan generasi politisi Indonesia.
Alasan lain, pembedaan antara “sudah/pernah kawin” dengan belum adalah norma yang diskriminatif. Diskriminasi adalah musuh dunia, karena azas nondiskriminasi diakui asas universal dalam instrumen HAM internasional. Diskriminasi kelompok dengan perlakuan berbeda kepada yang “sudah/pernah kawin” tidak beralasan dalam rezim hak politik.
Di Indonesia, usul itu saya gelindingkan tahun 2003 tatkala menjadi komisioner Komnas Perlindungan Anak. Saat itu, didengungkan 5 alasan menurunkan usia pemilih menjadi 16 tahun. Pertama, untuk memperluas demokratisasi dengan memberi kesempatan anak usia 16 tahun menggunakan hak pilihnya. Kedua, mengapresiasi sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang diterapkan sejak Pemilu 2004. Ketiga, jumlah mereka yang tergolong anak (usia 16 sampai 16 tahun) sangat signifikan, setara dengan 40 kursi di Dewan.
Keempat, banyak permasalahan anak yang bisa diangkat pada agenda politik yang lebih besar. Kelima, alasan normatif karena UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak telah melarang pemanfaatan anak-anak untuk kepentingan politik (http://www.tempo.co/read/news/2003/01/21/0551450/Usia-Pemilih-Diusulkan-Turun-Menjadi-Mulai-16-Tahun).
Di Indonesia, kelompok orang muda sudah didorong untuk berpartisipasi dalam bidang sosial politik dengan membuka saluran aspirasi dan minat dalam wadah organisasi kepemudaan. Menurut UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, kelompok pemuda adalah dalam rentang usia 16 sampai 30 tahun.
Menurut Pasal 17 ayat (3) UU Kepemudaan, peran aktif pemuda sebagai agen perubahan diwujudkan antara lain dengan mengembangkan pendidikan politik dan demokratisasi dan kepedulian terhadap masyarakat. Kedua peran pemuda itu idemditto dengan peran sosial politik. Karena itu, UU kepemudaan sudah membuka peluang peran pemuda dalam partisipasi sosial politik dan menumbuh kembangkan demokrasi.
Lain usia pemuda dengan usia pemilih hak pilih. Berbeda pula batas usia anak, yang berbeda dengan batas usia perkawinan. Berbagai perbuatan hukum dipatok usia berbeda, seperti hak konsultasi hukum dan medis tanpa izin orangtua (legal or medical councelling without parental concent), batas pekerjaan berbahaya (hazardous employment), pekerjaan paruh waktu (part-time employment), pekerjaan purna waktu (full time employment), sukarela masuk angkatan bersenjata (voluntary enlistment into the armed forces), sukarela menjadi saksi di pengadilan (voluntarily giving testimony in court), usia tanggung-jawab kriminal (criminal liability), perampasan kemerdekaan (deprivation of liberty), penjatuhan hukuman, dan penggunaan rokok atau minuman beralkohol.
Lantas, tidak salah jika diusung gagasan dan langkah konstitusional menurunkan usia pemilih menjadi 16 tahun. Dengan jalan dan upaya yang konstitusional, maka batas usia pemilih dalam UU Pilpres dan UU lainnya, perlu diuji kesahihannya, baik secara yuridis formil, yuridis konstitusional maupun sosioligis dan akademis. Tentu tak abai membandingkan dengan langkah maju yang dilakukan negara-negara lain seperti Swedia, Jerman, Argentina. Maksudnya tunggal, untuk membuat demokrasi menjadi segar dan bugar dengan lapisan genarasi pemilih yang lebih muda.