Ujung Nasionalisasi INALUM
Wacana – Medan Bisnis: Bertempat di Kikichi Room Hotel Imperial, Tokyo yang megah, Senin 7 Juli 1975, AR Soehoed Menteri Perindustrian saat itu, meneken Master Agreement dengan konsorsium perusahaan Jepang. Pemerintah Indonesia langsung sebagai conter signatory.
Kemudian dibentuklah perusahaan patungan PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), mengolah bumi dan air sungai Asahan dan Danau Toba. “The Asahan river and its water power potential constitute and important natural recources…”, bunyi konsideran Master Agreement.
Nilai proyek itu raksasa: 255 milyar yen. Itu setara USD 1 miliar. Jika di rupiahkan saat itu setara Rp 8,5 bilyun. Terbesar sejak zaman Orde Lama sampai Presiden Gusdur, tulis A.R.Soehoed dalam “Asahan Peluang yang Bisa Terbuang”.
Setelah 30 tahun beroperasi, Indonesia segera menasionalisasi PT. Inalum, perusahaan patungan Pemerintah Indonesia dengan perusahan terbesar industri peleburan aluminium Jepang, Shogo Sosha dan disusul OECF (Overseas Economic Cooperation Fund), lembaga bantuan luar negeri “pelat merah” Jepang.
Divestasi tahap akhir 58,1 % saham milik Nippon Asahan Aluminium (NAA) tuntas 100% dialihkan per 1 Nopember 2013. Detik-detik nasionalisasi PT.Inalum sudah di ujung. Awal pembentukannya, komposisi saham Pemerintah Indonesia dan NAA adalah 10% dengan 90%, menjadi 25% dengan 75% (Oktober 1987), menjadi 41,13% dengan 58,87% (Juni 1987), menjadi 41,12% dengan 58,88% (Februari 1998).
Pemerintah Indonesia menganggarkan Rp.7 triliun. Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2013 tentang Perubahan APBN Tahun Anggaran 2013, dianggarkan Rp. 5 triliun untuk divestasi tuntas PT. Inalum. Posisinya dalam Keuangan Negara sebagai Pembiayaan Anggaran untuk mata anggaran Dana Investasi Pemerintah (vide penjelasan Pasal 17 ayat (3) angka 2.4.4.).
Artinya, sebagai investasi pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah di Sumatera Utara, tempat Sungai Asahan dan Danau Toba terhampar yang berpotensi 1.050 mega watt hidrolistrik.
Potensi hidrolistrik ini bisa menghasilkan energi untuk industri peleburan aluminium berkapasitas 400.000 ton per tahun. Tak hanya itu, di Kuala Tanjung, Batubara, Sumatera Utara, terbangun pabrik peleburan aluminium yang luasnya 200 hektar, yang mampu memproduksi aluminium hingga 240.000 ton per tahun.
Menurut data, 60% produksi aluminium diekspor ke Jepang, hanya 40% untuk kebutuhan dalam negeri. Selama ini pemerintah daerah hanya menikmati annual fee Rp 74 miliar per tahun. Tidak sebanding seandainya dari penghasilan PT Inalum atas listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga yang dijual ke PT PLN. Jika listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga dijual 4,6 sen dolar AS per kilowatt hour (kWh) ke PLN, diperoleh keuntungan hingga 120 juta dolar AS per tahun, atau Rp 12 triliun setahun. Andai pembagian keuntungan 10% saja, daerah Sumatera Utara memperoleh Rp 1,2 triliun per tahun. Sangat kecil dari annual fee Rp 74 miliar. Sekaligus bisa efektif karena tidak mengalami krisis listrik.
Bumi dan air Sumatera Utara
Legitnya penghasilan dari PT Inalum tak hadir begitu saja. Aset utama milik bangsa Indonesia, khususnya rakyat Sumatera Utara adalah air Sungai Asahan dan Danau Toba sumber tenaga hidrolistrik. Kolonial Belanda pun awalnya tergoda sejak 1905, bahkan menamakan air terjun Sigura-gura dengan “Wilhelmina-falls”. Namun dengan Jepang, air sungai Asahan dikelola dengan membangun bendungan dan stasiun pembangkit listrik dengan modal bumi dan air Sumatera Utara. Cermatilah fakta dan data dari www.otorita-asahan.go.id berikut ini.
Bendungan Penadah (Intake) Tangga berbentuk busur dibangun 1978-1982, berfungsi membentuk tinggi energi yang diperlukan untuk membangkitkan tenaga di Stasiun Pembangkit Listrik. Tinggi bendungan 82 meter dari dasar Sungai Asahan, dengan volume 4.880.000 m3. Bendungan Pengatur (Regulating Dam) Siruar, sebagai pengendali ketingggian permukaan air Danau Toba dan debit air yang mengalir ke Sungai Asahan, guna dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga listrik di PLTA Siguragura dan PLTA Tangga. Bendungan Pengatur Siruar berjenis struktur Concrete Gravity dengan tinggi bendungan 39 meter dari dasar sungai Asahan.
Bendungan Penadah (Intake) Siguragura, terletak 23,3 km dari hulu sungai Asahan (Danau Toba), atau 8,8 km dari bendungan Siruar atau 1 km di hilir Air Terjun Siguragura. Bendungan ini berfungsi untuk menjamin ketersediaan volume air dan besarnya energi air yang diperlukan bagi pembangkit tenaga listrik di PLTA Siguragura. Bendungan Siguragura berjenis struktur Concrete Gravity dengan tinggi bendungan 46 meter dari dasar Sungai Asahan, dengan volume 6.140.000 m3.
Stasiun Pembangkit Listrik Siguragura, dibangun 200 m di bawah permukaan tanah, terdiri dari dua ruangan besar, yaitu ruang pembangkit listrik dan ruang transformator utama. Dengan 4 perangkat pembangkit tenaga listrik (turbin), Siguragura dapat menyediakan tenaga listrik sebesar 206 MW.
Singkatnya, bendungan dan stasiun pembangkit listrik serta peleburan aluminium itu, berada di Sumatera Utara dan berasal mula dari ekosistem Sumatera Utara, yang memiliki relasi eksistensialis dengan masyarakat sekeliling Sungai Asahan dan Danau Toba.
Kini zaman reformasi, setelah 30 tahun mayoritas pemilikan dan pengelolaan PT Inalum dikuasai NAA Jepang, tepat jika pemilikan PT Inalum dinasionalisasi secara adil dan bijak konstitusi. Tepat dan bijaksana jika pemilikan PT Inalum tidak mutlak dan tunggal dikuasai pemerintah pusat melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP), badan investasi di bawah Menteri Keuangan. Pun demikian, tidak elok pula jika menjadi BUMN tanpa menyertakan Pemerintah Daerah Sumatera Utara.
Kemanakah PT Inalum paska NAA Jepang? Keliru andai pemerintah pusat memperlakukan rakyat Sumatera Utara dan pemerintah daerah sebagai “mitra niaga” dalam relasi kepemilikan PT Inalum. Sebaliknya, tak tepat jika Gubernur Sumatera Utara mengambil posisi bagai peniaga swasta dengan langkah korporasi ingin membeli saham 30% PT Inalum.
Bukankah air Sungai Asahan dan Danau Toba, serta pantai pelabuhan dan pembangkit listrik berada di kawasan Sumatera Utara? Bukankah “hak ulayat” masyarakat setempat diakui dan dijamin dalam konstitusi? Bukankah air itu mengalir tidak di Jakarta, tanah itu tak bertapak di Jakarta, Danau Toba tidak terhampar di Jakarta, sungai Asahan dan bibir pantai pelabuhan Kuala Tanjung itu tidak di bawah langit Jakarta?
Dengan basis hak konstitusional masyarakat lokal itu, Gubernur Sumatera Utara mestinya memperjuangkan saham PT Inalum kembali kepada rakyat Sumatera Utara, bukan bertindak seakan peniaga yang memohon kebaikan hati pemerintah pusat menjual 30% saham PT Inalum.
Istilahnya berpartisipasi memiliki saham PT Inalum sebesar 30% [www.kabarbumn.com]. Gubernur mestinya berjuang mengembalikan “hak ulayat” kepada rakyat, bukan berposisi “membeli milik sendiri”. Bukankah air, tanah, danau, sungai, pantai dan lingkungan yang dimanfaatkan adalah barang atau “hak ulayat” milik rakyat Sumatera Utara sendiri?