UU Pengadilan Anak Langgar Hak Konstitusional Anak Indonesia

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU PA), Senin (25/1), di Gedung MK. Perkara yang teregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 1/PUU-VIII/2010 diajukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKAM).

Melalui kuasa hukumnya, Pemohon mendalilkan bahwa enam pasal dalam UU PA, yakni Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945. “Pemohon merasa hak konstitusional Pemohon dijamin dalam Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1),” jelas Muhammad Joni selaku Kuasa Hukum para Pemohon.

Joni mengungkapkan bahwa Pemohon menilai Pasal 1 butir 2 huruf b sepanjang frasa “maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan” bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Joni, hal tersebut karena ketentuan tersebut menjadi dasar kriminalisasi anak.

“Ketentuan Pasal 1 butir (2) huruf b bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana positif. Hal ini berarti menormakan kriminalisasi anak, karena membuat norma yang mengakibatkan anak-anak dapat diajukan ke Sidang Anak yang selanjutnya dapat dijatuhi pidana,” jelas Joni.

Selain itu, para Pemohon juga mempermasalahkan mengenai batasan umur anak bisa dijerat pasal dalam UU PA tersebut. Menurut Joni, Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa “belum mencapai umur 8 (delapan) tahun” bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena terlalu rendah dalam usia tersebut dilakukan proses hukum oleh Penyidik. “Proses hukum pemeriksaan untuk kepentingan pro justicia oleh penyidik terhadap anak (berusia) kurang (dari) 8 tahun adalah proses yang, dalam beberapa hal, (menyebabkan) anak mengalami kekerasan, keadaan anak tidak nyaman, dan kerap membuat terganggunya psikologis dan mental anak,” ujar Joni.

Joni juga menilai bahwa hukuman pidana bagi anak nakal seperti yang diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 juga bertentangan dengan UUD 1945. Pasalnya, menurut Joni, anak nakal lebih tepat dan lebih baik dikenakan pembinaan dengan menjatuhkan tindakan sebagai upaya perbaikan, bukannya penghukuman atau pemidanaan. “Hal tersebut karena penghukuman atau pemidanaan karena akan menimbulkan dampak traumatik yang berkepanjangan terhadap anak. Baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi proses perkembangan kejiwaan anak, apalagi mengingat status eks narapidana yang nantinya akan disandangnya setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan,” kata Joni.

Ketua Majelis Hakim Panel M. Arsyad Sanusi mempertanyakan batasan umur minimum anak dapat dipidana delapan tahun yang dipermasalahkan pemohon. “Jika batasan minimum delapan tahun bertentangan dengan UUD 1945, lantas berapa batas umur anak dapat dijerat dengan UU Pengadilan Anak? Apa umur lima tahun?” tanya Arsyad.

Menurut Joni, batasan anak dalam UU Pengadilan Anak harus disesuaikan dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Dalam UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka, batasan usia minimum anak dapat dipidana adalah 18 tahun,” jelas Joni.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengungkapkan bahwa posita Pemohon bertentangan satu sama lain. Menurut Maria, Pemohon menginginkan agar frasa “pidana atau” pada Pasal 22 UU Pengadilan Anak, tetapi di dalam poin selanjutnya Pemohon hanya meminta frasa “pidana penjara” pada Pasal 23 ayat (2) UU Pengadilan Anak untuk dinyatakan tidak memiliki hukum mengikat. “Pemohon harus berhati-hati karena Pasal 22 dengan Pasal 23 UU Pengadilan Anak sangat berkaitan,” jelas Maria. Dalam persidangan ini, Pemohon menyerahkan 51 alat bukti.

Leave a Reply