Vaksin Palsu (10): Segerakan UU Pengawasan Obat

Memberantas sindikat obat palsu dan obat ilegal, cukupkah dengan langkah politik DPR membentuk tim pengawas vaksin palsu?

Itu patut dihargai. Namun tentu tidak cukup. Persoalan besarnya adalah sindikasi terorganisir obat palsu transnasional. Pun demikian terkait dengan sistem pengawasan yang hinga kini belum tangguh.  Salah satu sebabnya, belum adanya UU Pengawasan Obat dan Makanan, karena masih mengacu UU Kesehatan.

Pernah terdengar  usulan RUU Pengawasan Obat dan Makanan, namun sebelum kasus vaksin palsu terbongkar, RUU itu tenggelam dalam sepi. Belum dianggap penting dan prioritas oleh kaum pembuat UU di Senayan yang bisa menggagas  program legislasi nasional.  Mengapa harus terjadi heboh dan  jatuh korban  vaksin palsu baru kemudian parlemen dan Pemerintah beranjak ligat membenahi peraturan?

Tepat sudah parlemen  mengusulkan  revisi sejumlah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang dinilai cenderung meminimalisasi  peran BPOM.  Momentum vaksin palsu mesti diambil sebagai  justifikasi melakukan audit atas validitas dan daya berlaku efektif  semua aturan pengawasan obat di Indonesia. Untuk pengamanan obat dan makanan hendaknya tidak semberono membuat aturan.

Ketiadaan UU mengenai  pengawasan obat  dan lemahnya otoritas BPOM memunculkan momentum tepat  pembahasan RUU Pengawasan Obat dan Makanan. Presiden mesti memerintahkan pengajuan dan pembahasan segera sebagai tindakan segera (urgent action).

Aha, kalau UU Pengampunan Pajak (tax amnesty) bisa disegerakan, mengapa tidak RUU Pengawasan Obat dan Makanan? Demi menjamin  HAM paling utama dan  HAM yang tidak bisa disingkirkan.

Pada titik ini, Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) mengadvokasi  seumlah alasan mengapa perlu segera digodok RUU Pengawasan Obat dan Makanan. Dari pada mengajukan dan membahas RUU Pertembakauan yang kontroversial dan vis a vis dengan UU Kesehatan dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

MKI meminta  DPR mengajukan  RUU Obat dan makanan sebagai prioritas program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2016.  Jangan ditunda lagi.  Demi rakyat, tak mengapa Pemerintah dan DPR  lebih giat dan “berkeringat” membahas RUU itu dengan tenggat yang cepat.

Dengan UU itu, harapannya memberi  wewenang BPOM menjadi  lembaga independen yang tidak hanya melakukan pengawasan dengan embel-embel mesti koordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemkes) sehingga terkesan lamban.

Selain itu, BPOM patut diberikan fungsi pengawasan lebih menggigit dengan  wewenang melakukan penggeledahan, penyelidikan, penyidikan dan upaya paksa lain secara mandiri dalam memberantas obat palsu dan obat ilegal.  Sanksi hukum pidana pun mesti ditingkatkan agar menjadi efek jera. Mesti lebih keras daripada sanksi yang tertera dalam UU Kesehatan.

Selagi belum ada UU Pengawasan Obat dan Makanan dan hanya mengandalkan UU Kesehatan, sulit membangun fungsi BPOM yang tangguh dan independen fungsional dalam pengawasan. Menagapa? Lago-lagi karena BPOM  tidak punya mandat yang terbit dari UU sendiri.

Pun dalam kondisi seperti itu,  Presiden mesti memberi arahan langsung kepada Kepala BPOM dalam Sidang Kabinet perihal POM.  Untuk jangka pendek,  sebelum ada UU pengawasan obat,  Presiden bisa mengambil  langkah segera dan langsung kepada BPOM,  tidak mesti terhambat birokrasi melalui/dengan Kemkes dengan dalih koordinasi.

Mengapa? Karena obat  menyangkut hak hidup (right to life). Hak konstitusional dan HAM yang tak bisa diabailan.  Hak utama (supreme rights) dan non derogable right.

Pembaca Transindonesia.co yang budiman. Tatkala diwartakan dari barang sitaan polisi yang menunjukkan 5 dari 15 produk terbukti palsu,  yang menemukan vaksin Tripacel berlabel poduksi PT. X yang kandungan seharusnya Toksoid Difteri, Toksoid tetanis, Vaksin Aseluler, namun hasil uji lab ternyata vaksin Hepatitis B.

Tatkala terbukti  vaksin Tuberkulin, berlabel produksi PT. Y, kandungan seharusnya Protein Tuberkulin, namun hasil uji lab vaksin Hepatitis B (Kompas, 25 Julin 2016).  Jelas  kedua vaksin itu mengandung  zat aktif yang berbeda sama sekali dengan label produksinya.

Apakah itu kasus vaksin palsu, kasus vaksin berlabel palsu, atau vaksin keliru label semata? Tentu, dengan terbukti adanya  kandungan zat aktif yang berbeda, maka kasus itu obat palsu, bukan  hanya pelanggaran  Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) semata. Ternyata masih saja terjadi.

Karena masih saja terjadi pemalsuan obat atau kandungan zat aktif  berbeda dengan yang dilabelkan,  berarti  masih serius  problematika pengawasan obat di negeri ini. Tak hanya surplus pemberitaan vaksin palsu, mestinya surplus pula komiymen yang melahirkan perubahan transformatif dengan mengajukan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.

Sekali lagi, mendesak menyegerakan  dibahas dan disahkannya UU  yang mengatur keamanan dan pengawasan obat, yang masuk ke dalam tubuh dan dikonsumsi terkait dengan kelangsungan hidup dan kesehatan manusia. Demi kepentingan menjamin  hak hidup anak bangsa. Hak yang utama. Bapak Presiden Yth., apalagi yang lebih bernilai selain hak hidup?

Muhammad Joni (Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), praktisi hukum)

Leave a Reply