Vaksin Palsu (3): Noktah Kejahatan Transnasional Obat Palsu
Heboh vaksin palsu menyedot pewartaan besar. Sorotan publik tertuju kepada Kementerian Kesahatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang bertanggunjawab ikhwal urusan pengawasan obat dan fasilitas kesehatan (faskes).
Di hadapan DPR, Menteri Kesehatan membuka nama-nama 14 rumah sakit dan tenaga kesehatan pengguna vaksin palsu. Sekali lagi, pengguna vaksin palsu. Tidak disebut pengguna adalah pelaku. Belum terkonfirmasi apakah 14 faskes itu terbukti sebagai pelaku terkait sindikat vaksin palsu.
Yang diungkap di parlemen itu masih data pengguna vaksin, yang kua teknis juridis bisa saja menjadi korban (victim) dari kerja sindikat. Mengambil tamsil pemalsuan minyak pelumas (oli) mobil palsu merek tertentu yang dipasok ke outlet/toko penjualan lantas dibeli konsumen. Pertanyaannya, apakah pemilik toko atau sang teknisi/montir atau pemilik mobil yang dikualifikasi sebagai pengguna atau pelaku atau justru korban?
Soal ini mesti didalami secara profesional oleh penyidik kepolisian. Namun kebanggaan apa hendak diraih setakat tergopoh mengumumkan nama pengguna?
Di gedung Parlemen yang mempercakapkan urusan negara dan bangsa, Menteri cuma membuka pengguna vaksin palsu. Kasus vaksin palsu hanya noktah dari kejahatan terorganisir peredaran obat palsu. Yang jauh sebelumnya sudah diwartakan BPOM. Mestinya DPR juga mendesak pemberanasan obat palsu.
Menurut United Nation Office on Drugand Crime (UNDOC), obat palsu yang disebut dengan fraudulent medicine di Asia, Afrika dan Amerika Latin bernilai sekitar 30% dari pasar obat. Yang berlangsung dalam skala transnasional (transnational scale) dan merupakan kejahatan terorganisir (organized crimes).
Di Indonesia? Merujuk BPOM, pertumbuhan peredaran obat ilegal dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Tahun 2012 saja ditemukan 6 item. Tahun 2013 (13 item), dan tahun 2014 (14 item).
Data 2014 menunjukan bahwa jenis obat dari kelas terapi paling banyak dipalsukan, secara berturut-turut berasal dari kelas terapi Anti-Konvulus, Antitusif (opiod) dan Anti-Diabetes. Sebarannya? Paling banyak di pulau Jawa dengan sebaran terbesar berturut-turut Propinsi DKI Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta (bisnis.com, 7/6/2015).
Mengutip penelitian Victory Project dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) media mewartakan 45% obat terapi disfungsi ereksi yang dikenal PDE5 Inhibitor (Sildenafil) di Indonesia adalah palsu.
Tengok pula hasil survei BPOM bahwa 50% obat palsu berasal dari Tiongkok dan India. Hal itu diungkap pejabat tinggi BPOM setakat peluncuran Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GN-POPA) bersama IDI dan IAI (liputan6.com, 18/02/2016).
Terendus pula perdagangan obat palsu dilakukan secara online melalui internet, sehingga problematikanya semakin runyam. Beralasan jika soal perdagangan obat palsu dengan modus importasi dikualifikasi sebagai transnational organized crimes. Indonesia sudah meratifikasi United Nation’s Convention Against Transnational Organized Crimes (ATOC) dengan UU No. 5 Tahun 2009.
Mengapa Indonesia meratifikasi Convention ATOC? Sebab tindak pidana transnational yang terorganisasi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia.
Hemat penulis, produksi dan peredaran obat palsu adalah kejahatan terorganisir dan transnasional yang “clear and danger” sebagai ancaman sosial, ekonomi, politik, keamanan bagi Bangsa dan Negara Indonesia.
Justru inilah biang struktural obat palsu. Naif jika cerita vaksin palsu tidak dipahami dalam skenario melawan sindikat obat palsu dan obat ilegal yang tergiur pasar super-jumbo konsumen Indonesia.
Mestinya Menteri yang mengurusi kesehatan, pun demikian instansi pengawasan obat berperang melawan sindikat terorganisir dan transnasional pemalsuan obat sebagai ikhtiar cerdas dan membongkar sampai akarnya. Bukan melulu mengurusi kasus vaksin palsu, lntas melupakan kejahatan transnasional obat palsu dan ilegal. Walaupun kasus vaksin palsu itu tidak bisa ditolerir. Kita menunggu apakah setelah vaksin palsu, akankah dibongkar sindikat obat palsu?
Ironis jika noktah vaksin palsu menerkam rakyat sendiri yang bisa jadi hanya korban dari sindikat kecil, di tengah-tengah gentayangan sindikat berskala transnasional peredaran obat palsu dan obat ilegal. Menteri Kesehatan yth, kemana arah hendak memerangi kejahatan terorganisir dan transnasional obat palsu dan obat ilegal?
Dimuat di Transindonesia.co