Vaksin Palsu (4): Pintu Memberantas Kejahatan Obat Palsu?
Terkuak kasus perbuatan berlanjut vaksin palsu dari Bekasi. Kejahatan terorganisir dan transnasional apa hendak dibongkar?
Sudah jamak diketahui, kejahatan obat palsu bukan lagi cerita samar-samar. Namun, sudah diakui instansi BPOM berlangsung lama, dan bahkan telah menggelar operasi bersama denga polisi internasional.
Kejahatan transnasional biasanya tak hanya sekadar menyasar pengguna pelaku pemakai obat palsu, namun lebih kepada membuat siasat untuk menguasai pasar dengan membuat atau menyusup ke dalam rantai edar obat dengan berbagai cara licik dan seakan budiman.
Tak hanya tenaga medis, sebenarnya korban terbesar obat palsu dan obat ilegal adalah Negara yang gagal memperoleh sumber pendapatan pajak. Belum lagi kerugian kesehatan yang timbul akibat konsumsi obat palsu.
Tak terbantahkan, Indonesia adalah target dari peredaran obat palsu dari luar negeri. Operasi pemberantasannya pun sudah dilakukan secara transnasional pula. Operasi Storm, suatu operasi internasional dengan sasaran farmasi ilegal yang digagas oleh International Criminal Police Organization (ICPO) Interpol. Operasi ini dilaksanakan oleh hampir semua negara Asia Tenggara dan beberapa negara di Asia. Tahun ini, Operasi Storm V di Indonesia
Tahun 2014, hasil Operasi Storm V yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan bukti peredaran obat, obat tradisional, dan kosmetik ilegal di Indonesia. Tahun 2016, Operasi STORM menjaring sebanyak 4.441 item produk ilegal dengan nilai keekonomian mencapai sekitar Rp49,83 miliar.
Menggelar operasi STORM itu menjadi alibi bahwa pelaku dominan obat palsu dan ilegal adalah sindikat terorganisir, bukan pengguna. Prinsip dalam pemberatasan kejahatan transnasional bahwa pelaku utama adalah sindikat, karena itu kejahatan jenis ini dikualifikasi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang bisa menyimpangi asas-asas hukum pidana untuk kehajatan biasa (ordinary crimes).
Kalau memakai ajaran kausalitas dalam hukum pidana, sindikat obat palsu ini justru yang merupakan pelaku dominan dalam kejahatan pemalsuan obat. Merujuk ajaran kausalitas yang mengindividualisasi faktor mana paling dominan yang mempunyai andil paling kuat dalam menimbulkan akibat. Merujuk indivualiserende theorie, faktor penyebab paling kuat setelah peristiwa konkrit merupaan faktor dominan timbulnya akibat.
Pun jika merujuk indivualiserende theorie, sindikat terorganisir dengan modal kuat dan jaringan luas skala transnational, adalah faktor ataupun pelaku dominan bukan pengguna atau pelaku individual yang hanya terjerat kerja licik sindikat.
Tidak adil jika pengguna yang acap kali tidak tahu sama sekali barang yang dipakainya obat palsu yang dikualifikasi sebagai pelaku. Karena pengguna beriktikat baik adalah korban. Dia bukan pelaku apalagi faktor dominan. Akankah bijaksana dan adil jika negara memburu dan menghukum korban?
Tersebab itu, perlu membangun konstruksi yang pas dalam memberantas obat palsu. Profesi dokter kua prosedural tidak bersentuhan dengan pengadaan obat. Dokter hanya meresepkan saja, tidak ikut dalam pengadaan, persediaan dan pengelolaan obat.
Malahan perlu menggiatkan perlawanan bersama dan terorganisir antara faskes, dokter, apoteker dengan rakyat/konsumen memerangi sindikat obat palsu. Kejahatan luar biasa ini harus dilawan dengan upaya luar biasa (extra ordinary effort) dan terorganisir dengan segenap komponen bangsa.
Sindikat kejahatan terorganisir berhati plastik itulah menjadi faktor dominan yang menganiaya rakyat konsumen kesehatan. Publik mesti mengingatkan Pemerintah agar bertindak dalam konteks memerangi kejahatan terorganisir pemalsuaan obat, bukan menjerat pengguna yang kua juridis hanya korban dari sindikat obat palsu ataupun obat ilegal.
Dari kasus vaksin palsu, publik menunggu tindakan Pemerintah membongkar kejahatan transnasional obat palsu dan obat ilegal. Atau berhenti sampai di sini?
Dimuat di Transindonesia.co