Vaksin Palsu [6]: Pengadaan Obat Bukan Praktik Dokter
Apakah dokter terkait pengadaan obat? Pertanyaan itu dapat dijawab ringkas, dengan menanyakan dimanakah letak layanan dokter dalam faskes/rumah sakit? Dalam posisi dan fungsi sebagai dokter yang memberi jasa layanan medis, tentu saja dokter tidak terkait dalam penyediaan obat kepada pasien. Faskes/rumah sakit mengelola mekanisme jasa layanan dokter, selain itu ada pula layanan instalasi farmasi, dan tenaga kesehatan pendukung lainnya.
Pengadaan obat pada faskes/rumah sakit adalah domein manajemen rumah sakit dengan persyaratan tertentu, bahkan mewajibkan pula ahli tenaga farmasi. Itu sebabnya, pada faskes/rumah sakit tidak melulu jasa layanan dokter, ada pula tenaga kesehatan lain, ada instalasi farmasi atau apotek yang ditanggungjawabi profesi apoteker. Layanan dokter dan farmasi dua kamar berbeda.
Sekali lagi, dalam posisi sebagai dokter menjalankan praktik kedokteran maka dokter tidak terikut dengan pengadaan, penyediaan, bahkan pemberian obat (farmasi) kepada pasiennya. Bukan pula tugas, fungsi dan kompetensi dokter berwenang menilai suatu obat, pun demikian vaksin yang tersedia pada faskes adalah palsu ataupun ilegal. Walaupun dokter berada pada garda terdepan sebagai gate keeper pelayanan kesehatan, terutama pada layanan primer.
Bisa jadi ada yang berstatus sebagai dokter dalam manajemen atau bahkan pemilik faskes/rumah sakit, namun dengan analisa fungsi dan kompetensi, baik perbuatan maupun kedudukannya bukan sebagai dokter yang menjalankan praktik kedokteran. Sehingga tidak bisa dituding secara tergopoh sebagai perbuatan dokter sebagai profesi yang menjalankan praktik kedokteran, karena saat mengelola rumah sakit dia menjalankan praktik manajemen rumah sakit, bukan praktik kedokteran.
Walaupun dalam posisi sebagai dokter tetap saja terikat dengan norma, bahkan tenaga medis (dokter dan dokter gigi) terikat dengan 3 (tiga) jenis norma sekaligus dan tiga mekansime peradilan, yakni norma etika, norma disiplin, dan norma hukum. Jika dugaan melanggar norma etika diperiksa dengan mekanisme peradilan etik pada organisasi profesi, jika dugaan pelanggaran disiplin, laporan dan pemeriksaannya melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), dan jika dugaan melanggar hukum melalaui mekanisme peradilan hukum formal.
Selain tidak terkait pengadaan obat, juga tidak menilai keasliannya. Penulis setuju dengan pendapat Dr. Khairani Sukatendel, M.Ked (OzG., Sp.OG (K), Sekretaris Umum IDI Sumatera Utara, “Dokter tidak memiliki kapasitas menilai kualitas dan keaslian obat. Keaslian obat adalah wewenang pengadaan dan itu bukan fungsi dokter dalam praktik kedokteran, tetapi rumah sakit”.
Sesuai dengan fungsi dan kompetensi serta sumpah dokter itu sendiri, dokter dalam praktik kedokteran merupakan profesi membantu (helper profession), bukan sebaliknya. Sebagai dokter praktik kebidanan, dalam satu perbincangan dengan Dr.Khairani Sukatendel yang juga Sekretaris Bidang Organisasi PB IDI mengungkapkan, “Jika mengetahui vaksin itu palsu, mustahil dokter menyuntikkan kepada pasien, apalagi kepada anak-anak tak berdosa. Ini bukan hanya tentang sumpah dokter tapi juga prinsip kemanusiaan universal”.
Hemat penulis dalam kasus vaksin palsu ini mesti didudukkan soalnya secara jernih dan proporsional dengan pendekatan sistemik. Tidak elok menuding profesi tertentu tanpa meneropongnya secara pas sesuai fungsi, kompetensi dan profesi. Seperti tidak pas menuduh pelanggan pemakai (end user) minyak pelumas yang ternyata palsu, pun demikian tenaga teknisi/montir pada toko penjualan minyak pelumas itu sebagai biang pelaku pemalsuan. Pelanggan (end user) adalah korban.
Tersebab itu, pemerintah demikian pula penyidik memahami dengan cermat dan profesional bahwanya vaksin palsu demikian pula Opal, bertumpu mulanya pada produk dan produksi, distribusi dan distributor. Bukan pelanggan atau profesi dokter yang secara sistemik berbeda jalur dengan instalasi farmasi.
Namun sebagai kejahatan terorganisir dan transnasional, pelaku utama kejahatan Opal adalah sindikat pemalsu, bukan pengguna yang justru korban (victim). Dalam ajaran kausalitas yang menganut tiori individualisasi, diantara rangkaian sebab, faktor paling dominan yang menjadi penentu terjadi akibat. Sindikat terorganisir dan transnasional itulah yang dominan dalam Opal yang bahkan sudah berskala global. Dalam kasus konkrit, bisa jadi faskes juga korban dari sindikat Opal terorganisir dan transnasional itu.
Patut dicatat, kua konstitusi pekerjaan apapun termasuk profesi tenaga medis memiliki hak konstitusional atas perlakuan yang berkeadilan. Yang menjadi garda terdepan menjalankan tugas konstitusional negara atas pelayanan kesehatan versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Semestinya Negara menjaga profesi dan praktik kedokteran. sumber