Vaksin Palsu (9): Perangi Obat Palsu Tak Cukup Tim Pengawas Vaksin
Sepertinya kepalsuan ada dimana-mana. Baru-baru ini terkuak kartu BPJS palsu. Jamak pula beragam palsu-palsu lain yang disebut pembajakan (piracy) barang bermerek: parfum, sepatu, jam tangan, gaun ataupun compact disk album lagu.
Pembajakan berbeda dengan obat ataupun vaksin palsu. Karena parfum, sepatu, jam tangan, gaun ataupun compact disk lagu palsu tidak masuk ke dalam tubuh. Tidak demikian obat ataupun vaksin, karena zat aktif yang keliru beresiko membahayakan tubuh.
Vaksin palsu? Obat palsu? Air mineral palsu? Itu benda-benda palsu yang menerobos masuk ke perut dan tubuh. Beda dengan pemalsuan jam tangan hanya dikenakan badan. Malahan, acap kali orang memburu barang bajakan untuk kebanggaan palsu. Akankah bangga mengonsumsi obat paslu? Pasti tidak.
Pertanyaan pertama yang diajukan tulisan ini: apakah yang palsu? Isi kandungan zat aktif atau label alias merek yang dilekatkan? Atau barangnya asli tapi tidak melewati jalur edar resmi atau selundupan? Tersebab itu penting membedakan antara obat palsu dengan obat ilegal.
Ilegal artinya tak sah dan melawan hukum, bisa jadi karena tanpa ijin edar, produksi berlebih, di luar jalur edar yang resmi, barang seludupan, dan karena itu tidak membayar pajak. Pertanyan kedua, bagaimana proporsi menyikapi obat palsu?
Ikhwal obat palsu dan obat ilegal, tidak perlu menunggu ada korban untuk memberangusnya. Tak mesti menanti ada laporan kepada polisi. Tak harus menunggu sampai beredar gelap ke pasar atau instalasi farmasi. Sebab, obat palsu dan obat ilegal bukan hanya kasus individual yang menganiaya konsumen, atau dianggap hanya kasus mikro dalam relasi produsen dengan konsumen.
Proporsi obat palsu dan obat ilegal itu kasus struktural dan terorganisir yang mesti diperangi. Mengapa? Ini dua alasan yang pertama. Yakni, obat berkaitan dengan hak publik atas keamanan sediaan farmasi. Ingat, obat mengandung zat aktif yang dimasukkan ke dalam tubuh. Lagian obat terkait kewajiban negara atas pelayanan kesehatan versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Pelayanan kesehatan tanpa sedian farmasi termasuk obat dan vaksin adalah nihil. Obat palsu menihilkan arti konstitusi.
Alasan ketiga, pemalsuan obat dan obat ilegal termasuk kejahatan terorganisir dan berskala transnasional, karena modusnya importasi antara negara. PBB pun mengesahkan Konvensi Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional yang diratifikasi lebih 120 negara peserta, termasuk Indonesia melalui UU No.5 Tahun 2009. Itu 3 alasan mendefenisikan proporsi bahaya obat palsu.
Tersebab itu obat palsu (pun demikian vaksin palsu) tak bisa ditolerir seinci pun. Patut diapresiasi pembentukan Tim Pengawas Vaksin Palsu lewat sidang paripurna DPR. Namun, kiprah dan mandatnya mesti lebih luas, struktural, dan strategis memerangi sindikat obat palsu. Tak sekadar mengawasi penanganan vaksin palsu yang sudah menjerat 25 tersangka.
Karena itu tulisan ini hendak mendorong langkah strategis, struktural dan luar biasa dari Pemerintah dan DPR. Intinya melakukan 3 hal: perang obat palsu, transformasi hukum, benahi sistem pengawasan dan lembaga pengawasan yang mumpuni.
Saran apa yang hendak diusung? Pertama: Ditilik dari skala dan dampak pemalsuan obat, soal ini jangan dimikrokan sebagai kasus vaksin palsu belaka yang terkesan hanya menghukum pelaku in case. Biarkan penuntasan kasus hukum vaksin palsu itu menjadi urusan penyidik, tentu pengawasan DPR atas profesionalitas polisi tetap perlu.
DPR dan Pemerintah mesti menggunakan kasus vaksin palsu sebagai pintu masuk memberangus kejahatan obat palsu yang memiliki watak sebagai kejahatan terorganisir dan berskala transnasional. Ini isu yang besar dan menyerang sendi paling strategis kesehatan anak bangsa.
Untuk mengemban itu, tak usah ragu memberikan wewenang besar kepada BPOM ikhwal pengawasan obat dan makanan yang berwenang, seperti Food and Drug Administration (FDA) di USA.
Pengawasan atas kemajuannya memberantas obat palsu dievaluasi setiap masa kepada DPR dan disosialisasikan kepada publik. Persis seperti BPK membuat Laporan Semester hasil pemeriksaan keuangan negara.
Negeri ini membutuhkan BPOM yang kuat, bebas intervensi dan otentik memberantas obat palsu. Memberantas obat palsu mesti disikapi idemditto memerangi “korupsi” atas kesehatan rakyat, dan “teror” atas hak hidup rakyat. sumber