Vaksin Palsu (1), Serangan Hak Hidup Anak

Terbongkar peredaran vaksin palsu membelalakkan mata publik, betapa keamanan obat dan kesediaan farmasi masih kedodoran.

Pembaca bisa gemetar seketika, tatkala mengetahui anak atau kerabat anda menjadi korban kejahatan fontal vaksin palsu bagi anak itu.

Konvensi hak Anak (Convention on the Right of the Child) mendefenisikan anak sebagai   kelompok rentan (vulnerable group) yang rawan dan membutuhkan perlindungan khusus.    Terutama atas serangan penyakit dan ancaman resiko kematian bayi paska kelahiran dan anak bawah lima tahun yang menjadi agenda nasional bahkan global.

Untuk itulah vaksinisasi digiatkan sebagai hajatan nasional, menjaga generasi baru yang merupakan lapisan strategis kependudukan karena penyangga masa depan ketahanan negara.

Jangan terseok hanya mengatasi kasus mikro dan kejahatan pemalsuan vaksin saja,  seakan   Pemerintah sudah efektif dengan mengumumkan nama pihak terlibat, karena isu obat dan sediaan farmasi palsu bukan cerita baru yang jauh lebih dahsyat.

Akan tetapi  soal vaksin palsu untuk anak, termasuk bayi dan balita yang rentan sakit dan bahkan ancaman kematian. Jangan ambil resiko membacanya dalam godaan kaca mata politik praktis.

Saya menguatirkan vaksin palsu mengancam hak hidup anak!

Merujuk Konvensi Hak Anak (KHA) pun demikian UU No. 23 tahun 2002 tentang   Perlindungan Anak  (UU Perlindungan Anak),  vaksin  palsu ini bukan perkara main-main,     karena soal vaksin palsu yang menyasar anak bertemali kausalitasnya dengan hak hidup (right to live), kelangsungan hidup (right to survival), dan tumbuh kembang (right to development).

Hak hidup itu  idemditto  hak asasi manusia (HAM) yang utama (supreme right) yang tak boleh   dikurangi walauun sedikitpun, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun.

Tersebab itu, vaksin palsu jangan tergopoh meresponnya secara bersahaja hanya kasus mikro   pemalsuan atau kasus kejahatan biasa.

Menteri Kesehatan dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tak elok hanya membacanya sebagai kelakuan jahat bersifat horizontal antara pemalsu dengan konsumen. Seakan negara hanya menonton dan menjadi “penjaga malam”.

Seakan tugas Pemerintah selesai dengan membuat aturan dan Prosedur Standar Operasional   pengawasan yang hanya menjadi sekian lembar kertas tanpa tenaga memberantas.

Mengapa vaksin palsu bahaya bagia anak? Selain tersebab anak kelompok rentan yang   membutuhkan perlindungan khusus, dan vaksin palsu mengancam bagi hak hidup,   kelangsungan hidup dan tubuh kembang anak, pun-demikian menjadi pertanyaan kepada   kepercayaan pada Negara sebagai penjaga hak konstotusional rakyat atas pelayanan kesehatan   dan HAM yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pemerintah sebagai pelindung utama HAM versi Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.

Singkatnya, ini bukan hanya kasus hukum teknis yang dikontruksikan sebagai pemalsuan vaksin. Tetapi ini ironi atas jaminan hak konstitusional atas hidup anak. Masihkah terdiam membiarkannya? Ini dentang lonceng peringatan darurat pelayanan bagi Bangsa Indonesia. Bagi bangsa yang hatinya hidup dan nuraninya mendengar.

Dalam diskursus pembahasan UUD 1945, malah lebih progresif hendak menjadikan hak kesehatan sebagai hak yang dipelihara Negara. Kini, hanya hak pelayanan kesehatan yang jadi hak konstitusional versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, bukan kesehatan itu sendiri.

Kua teknis, Pemerintah bergegaslah membenahi lini kebijakan terkait pengawasan nyata atas produksi, distribusi, peredaran dan penggunaan obat dan sedian farmasi, pada fasilitas   kesehatan manapun disetiap lekuk bumi pertiwi.

Jangan sungkan mendesak Menteri Kesehatan melakukan audit BPOM, dan aparatur dijajaran Kementerian Kesehatan (Ditjen Binfar dan Ditjen P2PL terasuk  Ditjen Yankes) yang memiliki wenanag dan tanggungjawab ikhwal  pelayanan fasilitas kesehatan.

Wewenang yang dipundaknya sebanding dengan tanggungjawab kepada Negara, Pemerintah dan rakyat pembayar pajak yang sudah membayar gaji mereka.  Kalau tak sempat dan lamban  mengurai benang kusut, pastikan menyiapkan setungkul benang baru yang untuk menyulam ulang birokrasi kesehatan nasional.

Disarikan dari: Transindonesia.co

Leave a Reply