Volk Populi: Jangan ditunda-tunda!
Benar! Secara formal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan perihal pemilihan umum serentak dengan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. Menurut putusan MK, pemilu anggota legisatif (Pileg) dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang tidak serentak bertentangan dengan UUD 1945 alias inkonstitusional. Begitu amar putusan MK dari sisi materil primernya, namun apa daya, sisi materil dikalahkan oleh perjalanan waktu.
Kua prosedural-formil daya berlakunya ditunda 5 (lima) tahun ke depan. Diberlakukan untuk pemilu tahun 2019. Padahal sifat putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding). Menunda itu sama saja dengan bukan mengikat saat dibacakan. Seakan tersekat antara kebenaran materil-substantif dengan kebenaran prosedural formil. Masyarakat merasa keduanya mempertentangkan antara keadilan materil dengan keadilan formil. Kendatipun MK membuat putusan final dan mengikat, namun penundaan itu menegasi daya mengikat (binding) putusan MK aquo. Rasa keadilan terusik.
Dalam negara demokratis, siapapun tidak boleh menyekap erupsi suara keadilan yang terbit dari perasaan keadilan rakyat. Karena itu Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) menggemukakan 3 (tiga) refleksi perasaan keadilan versi masyarakat:
Pertama: Sejujurnya putusan MK aquo membuat terobosan penting yang menjawab kebutuhan ketatanegaraan bagi Negara Hukum moderen yang berkeadilan. Putuan MK aquo menyumbang literasi politik rakyat yang memang tidak boleh dihempang-hempang. Pendidikan politik yang terus meningkat adalah keniscayaan sejarah.
Kedua: Putusan MK aquo menjadi peringatan (warning) bagi partai politik (parpol) agar membenahi internal parpol dengan mengarusutamakan prinsip Demokrasi berdasar prinsip Negara Hukum (democrachie rechstaat), bukan menerapkan praktik oligarkhi parpol yang menggerus otentisitas keadilan politik. Atau bahkan menjelmakan perilaku menyimpang “sengkunisasi” parpol. Parpol harus waspada dengan perubahan zaman sangat terang benderang ini,dengan menjaga “mesin” demokrasi pada tubuh atau internal parpol tidak macat yang bisa mengakibatkan kegagalan parpol (political party failure). Caranya, termasuk memastikan kualitas calon anggota legislatif dan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mumpuni, bukan calon hasil utak atik pencitraan yang merendahkan kecerdasan rakyat atau mengatrol calon dari kelas “abal-abal”. Rekrutmen caleg mesti otentik, baik secara bobot kualitas dengan akseptasi-elektabilitas yang terjamin, dan jujur, adil dan profesional dalam rekrutmen politik para caleg dan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu untuk mencegah sindikasi politik yang merendahkan mutu demokrasi dan menurunkan derajat penerimaan rakyat terhadap parpol.
Ketiga: putusan MK aquo yang amarnya menunda pelaksanaan Pileg dan Pilpres serentak, sungguh dirasakan masyarakat sebagai kontradiksi yang nyata dengan “maksud asli” dan substansi primer putusan MK itu. Tugas MK mengawal demokrasi, mengawal konstitusi, dan sebagai penafsir konstitusi, yang semestinya mencakup materil-substantif maupun procedural-formil, kini dirasakan berhadapan dengan suara keadilan. Apalagi putusan MK aquo ditunda pembacaannya semenjak 26 Maret 2013, saat dimana MK memutuskan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Menurut hukum acara pengujian Undang-undang bahwa putusan pengujian Undang-undang diambil dalam RPH yang dihadiri hakim MK saat itu. Logika dan perasaan awam menilai, tidak elok apabila keadilan konstitusi dan hasil dari pencarian kebenaran (searching the truth) itu ditunda-tunda, baik pembacaannya maupun pelaksanaannya.
Publik berhak mencari dan memperoleh informasi mengapa hal ihwal itu terjadi? Mencari pengetahuan perihal fakta materil penundaan itu. Apa dan mengapa itu terjadi? Bukankah “menunda keadilan adalah menciderai keadilan”? Bukankah MK berorientasi dan menganut rezim keadilan substantif? Penundaan pemilu Pileg dan Pilres serentak 5 (lima) tahun lagi, dirasakan rakyat sebagai hal yang idemditto menunda kedaulatan rakyat.
Dalam logika rakyat, andai lembaga formal kekuasaan kehakiman seperti MK ataupun Mahkamah Agung (MA) abai akan perasaan keadilan, maka tidak dapat mencegah jika rakyat mencari tempat guna menyalurkan pandangan dan aspirasi politk. Dalam era demokrasi modern dewasa ini, absah apabila rakyat menggunakan suaranya. Suara yang bertenaga: Suara Langit! Volk Populi Vox Dei.