Wajar 12 Tahun Hak Konstitusional: Notes untuk FB Ibu Pertiwi
Pekan ini, Mendiknas Muhammad Nuh menggelontorkan isu program rintisan wajib belajar 12 tahun mulai tahun depan. Isu itu menarik dan maju dari patok normatif wajib belajar 9 tahun versi Pasal 6 UU Sisdiknas. Namun, tepatkah Wajar 12 tahun hanya sekadar rintisan? Bukankah pendidikan itu hak konstitusional dan jalan tercepat meretas kemiskinan dan keterbelakangan. Denyutnya tak boleh berhenti kendati dalam keadaan darurat sekalipun, dengan upaya yang progresif, extraordinary dan setara.
Untuk menyediakan dan memenuhi hak pendidikan pada anak memang tak boleh upaya alakadarnya ataupun tindakan biasa-biaya saja (ordinary effort), karena pendidikan cara beradab dan tercepat menuju peradaban, kemajuan dan memberantas kemiskinan. Pendidikan menjadi pisau tajam membunuh ketertinggalan manusia dan peradaban Indonesia. Itulah sebabnya, dalam perspektif hak ekonomi sosial dan budaya, dan hak-hak anak, pendidikan mestilah dilakonkan dengan progresively, extra-ordinar effort dan diselenggarakan dengan azas on the basis of equal opportunity.
Dalam Universal Declaration on Human Rights (UDHR) (1948), ditegaskan bahwa: “Every one has the right to education. Education shall be free, at least in elementary and fundamental stages. Elementry education shall be compulsory ….”. Selanjutnya, Pasal 28 ayat (1) CRC (1989) menegaskan hak atas pendidikan bagi anak: “State parties recognize the right of the child to education, and with a view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity, …”;
Pelaksanaan atas hak pendidikan menurut Pasal 13 ICESCR dilakukan dengan upaya pencapaian untuk pelaksanaan penuh (a view to achieving full realization), adalah tonggak penting dalam pemenuhan hak atas pendidikan menurut ICESCR. Istilah “with a view to achieving progressively the full realization of the rights”, terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) ICESCR. Pasal 2 ayat (1) ICESCR, menegaskan bahwa setiap negara peserta ICESCR mengambil langkah sendiri maupun dengan bantuan internasional dan kerjasama, untuk merealisasikan hak-hak dalam ICESCR tersebut. Dengan demikian, maka pemenuhan hak atas pendidikan berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 2 ICESCR, dilakasanakan dengan aplikasi segera.
Selanjutnya, dalam Pasal 13 ayat (2) ICESCR, negara peserta mengakui, dengan menekankan upaya pencapaian untuk merealisasikan penuh (to achieving full realization) hak pendidikan termasuk pendidian dasar (primary education) sebaagi suatu kewajiban (compulsory) dan tersedia secara bebas biaya untuk semua (free to all).
Kembali ke soal Wajar 12 tahun. Hal itu sejatinya bukan hal baru, bukan ikhtiar muskil dan bukan ide yang tak terbayangkan. Faktanya berbagai daerah lebih progresif. Berbagai kabupaten di berbagai daerah di Indonesia yang tidak terlal kaya smber daya alam dan energinya, justru telah lebih awal memulai dan merintis Wajar 12 tahun. Lihat saja kabupaten Jembrana (Bali), kota Tanjung Balai (Sumut), dan banyak lagi. Kinipun kabupaten Metro (Lampung) dan Semarang tengah menggodok RanPerda Wajar 12 tahun. Semangat serupa juga dilakoni Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Singkatnya, Wajar 12 tahun bukan ilusi, ambisi Politik murahan dan gejolak emosi yang tak terkendali. Namun tekat yang lumrah, dapat dikerjakan (workable) dan anggarannya bisa dialokasikan. Asalkan Pemerintah memiliki political will yang kuat dan tepat. Asalkan Pemerintah berani berhemat dan menurunkan gaya mewah birokrasi. Asalkan melakukan efisiensi dan rasionalsasi biaya anggaran belanja rutin. entu saja, asalkan tangguh mencegah korupsi mengerogoti keuangan negeri, dan tak tergoda dengan aneka penyalahgunaan wewenang.
Wajar 12 tahun bukan proyek politik jangka pendek, apalagi sekedar memoles citra tuk dielu-elukan semasa, namun semestinya mega agenda Indonesia menjadikan negeri ini digjaya dan sejahtera. Keluh kesah rakyat jelata masa depan bisa dientaskan dengan pendidikan. Lagi pula tak ada yang enggan membayar lebih mahal untuk pendidikan. Walau sebenarnya pendidikan bukan komoditas, pendidikan bukan dagang atau industri, sekolah bukan pasar akan tetapi pendidikan ya itu tadi: peradaban manusiawi dan otentik.
Kalaulah setiap ibu dan ayah kita rela berjuang, bekerja keras, bahkan menjual sawah ladang, atau emas simpanan, hanya untuk membiayai anak-anaknya bisa bersekolah sampai sarjana. Sebuah teladan (seluruh) ibu-ibu dan ayah-ayah di bumi manusia. Sebuah perilaku kolektif yang nyata dan mulia. Lha, andai ibu-ibu dan ayah-ayah itu melakukan ikhtiar progresif, extra ordinary, lantas apakah alasannya ibu pertiwi alias Pemerintah tak melakukan upaya progresif dan extra ordinary yang serupa? Ibu pertiwi mestilah meneladani dan bercermin pada ibu dan ayah yang mengayomi anak negeri ini.
Dengan postulat itu, hmmmmm, maka tidak lagi relevan Wajar 12 tahun cuma rintisan. Tidak elok hanya proyek politis jangka pendek yang menunggangi momentum semasa. Semoga pikiran liar itu tak terbukti benar. Semoga Wajar 12 tahun tidak pula kosmetik memoles citra tuk dielu-elukan rezim berkuasa.
Dengan karakter pendidikan sebagai upaya luar biasa dan progresif itu, maka kua juridis konstitusional absah jika didalilkan bahwa Wajar 9 tahun itu konstitusional bersyarat apabila dimaksudkan sebagai Wajar 12 tahun. Keleh-lah jiran Thailand yang telah meloncatkan peradaban kepada kebijakan Wajar 15 Tahun.
Namun, untuk menggapai Wajar 12 tahun, seperti hak-hak konstitusional lain, tidak boleh dibiarkan hanya menjadi urusan eksekutif saja. Seakan-akan skenario penyelengaraan hak-hak itu menjadi domein dan otoritas eksekutif saja. Memastikan landasan juridis program Wajar 12 tahun penting, karena pembangunan dilaksanakan dengan APBN yang dirancang mengacu kepada perintah Undang-undang.
Karena itu Wajar 12 tahun harus dikemas sebagai produk hukum dan memiliki landasan hukum positif dalam UU Sisdiknas yang mengikat Pemerintah, bukan sekadar program yang tanpa legal basis yang dapat dimintakan pertanggungjawaban. Artinya, norma UU Sisdiknas yang cuma mengatur Wajar 9 tahun tak lagi relevan dan mesti ditafsirkan konstitusional jika bermakna 12 tahun.
Disinilah problema normatifnya harus diatasi. Itulah bagian penting advokasi dan litigasi untuk memperbarui tafsir norma itu agar hak konstitusional pendidikan incasu Wajar 12 tahun memiliki landasan juridis yang pasti. Bukan sekadar program rintisan atau fakultatif, tanpa kepastian normatif. Hmm, tanpa itu, mau dibawa kemanakah Wajar 12 tahun?