Akhiri Penundaan Extract Vonnis: dari Sidang HAM 2011
Senin, 12 Desember 2011, bak “reuni” aktifis hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Dengan mengambil momentum memperingati hari HAM, untuk pertama kali di Indonesia diselanggarakan Sidang HAM 2011 yang mengambil tempat di auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta. Auditorium itu penuh sesak berbagai kalangan masyarakat sipil pegiat HAM, unsur pemerintah, pemerintah daerah, para pakar dan lembaga internasional dan Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) hadir dalam hajat yang digagas 3 lembaga HAM nasional: Komnas HAM, Kompas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Sebagai lembaga HAM dalam bidang hak anak, KPAI menyajikan laporan berjudul “Pemantauan dan Penelaahan terhadap Keterlambatan Pemberian Petikan Surat Putusan Pengadilan (Extract Vonnis) oleh Pengadilan serta Keterlambatan Pelaksanaan Eksekusi oleh Penuntut Umum”. Laporan iu menyoroti penundaan extract vonnis berakibat pada perapasan kemerdekan anak.
Saya hadir dalam Sidang HAM 2011 yang pertama kali di Indonesia itu dalam kapasitas sebagai pakar penanggap Laporan KPAI. Walaupun para pakar diberikan kesempatan paling akhir menggenapi tanggapan masyarakat sipil, lembaga pemerintah dan lembaga penegakan hukum, namun peserta Sidang HAM tetap utuh dan bersemanga mencermati setiap sesi.
Berikut ini adalah naskah lengkap tanggapan saya yang bertitl “Akhiri Penundaan Extract Vonnis” atas laoran KPAI pada Sidang HAM 2011.
Ironis andai menyepelekan soal keterlambatan pemberian petikan surat putusan pengadilan atau extract vonnis anak berkonflik dengan hukum. Apalagi berlangsung dalam jangka waktu panjang dan tak teratasi oleh otoritas hukum dengan langkah serius. KPAI menyebutnya isu lama yang “laten dan sistemik”, terus berulang dan tidak pernah tuntas (KPAI, Laporan Sidang HAM 2011, hal.2). Padahal, penghargaan hak asasi manusia (HAM) khususnya hak anak sudah tertera dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai hak konstitusi produk amandemen konstitusi ke konstitusionalisme yang semakin pro-hak anak.
Dengan demikian, maka absah adanya kemajuan signifikan dalam mencegah perampasan kebebasan (deprived liberty) sewenang-wenang, apakah itu penangkapan (arrest), penahanan (detention) ataupun pemenjaraan (imprisonment). Perampasan kemerdekaan sewenang-wenang, walaupun untuk masa yang amat pendek sekalipun adalah pencideraan HAM/hak anak.
Berdasarkan pasal 37:b konvensi hak anak (kha), penangkapan (arrest), penahanan (detention) ataupun pemenjaraan (imprisonment) hanya dapat terjadi jika bersesuaian dengan hukum (conformity with the law), upaya terakhir (the last resort) dan untuk jangka waktu paling pendek (for the shortest possible time). Bahkan hanya untuk kasus-kasus yang eksepsional (limited to exceptional cases) saja.
Ketentuan ini sejalan dengan pasal 66 ayat (4) uu ham dan pasal 16 ayat (3) uu perlindungan anak, walaupun hanya mensyaratkan “sesuai dengan hukum yang berlaku” dan “hanya data dilakukan sebagai upaya terakhir”. Tanpa norma “untuk jangka waktu paling pendek” inilah titik acuan mencermati penundaan extract vonnis yang berimplikasi luas pada hak anak untuk tidak mengalami perampasan kemerdekaan yang tidak sah.
Perampasan kemerdekaan: wajib sesuai hukum.
Penundaan extract vonnis sangat naïf bila dipahami hanya kelambanan administrasi. Kpai mesti menggebrak isu ini sebagai ironi yang menciderai hak anak yang tak tersembunyikan. Bukankah kua-juridis dan per-ham perampasan kemerdekaan itu hanya bisa dilakukan apabila sesuai dengan hukum.
Sekali lagi: bersesuaian dengan hukum (shall beconformity with the law). Termasuk hukum acara pidana mengenai pemberian extract vonnis itu [lihat pasal 226 ayat (1) kuhap, bandingkan dengan pasal 66 ayat (4) uu ham dan pasal 16 ayat (3) uu perlindungan anak, dan bandingkan dengan pasal 37:b kha].
Implikasiya akan lebih parah andai extract vonnis belum/tidak diberikan sedangkan amar putusan memutuskan bebas murni terdakwa, atau masa penahanannya impas. Sementara otoritas penjara enggan melepaskan tanpa extract vonnis, sehingga terjadilah perampasan kemerdekaan yang tidak sesuai hukum. Pencideraan ham yang senyata-nyatanya.
Tidak tepat andai menganggap penundaan extract vonnis hanya berhenti pada titik kesimpulan dangkal yakni “tidak tuntas melaksanakan administrasi perkara putusan” [lihat KPAI, laporan sidang ham 2011, hal. 6]. Seakan-akan hanya adanya disconnected atau disintegrated penegak hukum dalam melaksanakan administrasi putusan pengadilan sesuai kuhap. Dalam perspektif ham, penundaan extract vonnis adalah perampasan kemerdekaan yang tidak sah. Tidak sah karena mestinya sudah berubah dari tahanan anak menjadi anak pidana dengan segala hak-haknya sebagai anak didik pemasyarakatan (andikpas), atau semestinya bebas karena masa hukumannya sudah selesai saat pembacaan putusan.
Kedaan ini berimplikasi langsung pada pelangaran hukum dan pencideraan ham, karena perampasan kemerdekaan wajib bersesuaian dengan hukum (shall be conformity with the law). Karena itu, pasal 226 kuhap mesti diperbaiki dengan menerakan norma siapa aktor yang berkewajiban memberikan extract vonnis, apa implikasi dan sanksinya jika tidak diberikan. Sehingga menjadi semakin pasti menjamin hak anak.
Secara a contrario, masih kabur dan debatable jika dengan tergopoh-gopoh merekomendasikan “menindak tegas para aparatur penegak hukum yang melakukan penundaan terhadap extract vonnis …dst, …pelanggaran tersebut harus diberikan sanksi sebagaimana mestinya” [lihat kpai, laporan ham 2011, hal. 7]. Oleh karena soal sanksi atas penundaanextract vonnis itu tak jelas diatur oleh kuhap, sehingg harus dilakukan perubahan hukum atau meluruskan normanya.
Apabila penundaan extract vonnis tak bisa diakhiri, maka semakin menguat argumentasi yang meragukan pidana penjara. Yang terjadi justru ketidakpastian hukum yang dijamin pasal 28d ayat (1) uud 1945, dan pelanggaran hak konstitusional anak pasal 28b ayat (2) uud 1945. Tak berlebihan bahkan bukan musykil andai kpai mengajukan judicial review atau jr atas pasal 200 dan pasal 226 ayat (1) kuhap ke mahkamah konstitusi, seperti preseden kpai mengajukan jr terhadap 5 (lima) pasal uu nomor 3 tahun 1997.
Andai norma dan praktik penundaan extract vonnis tidak berubah pada praktik peradilan anak, berarti negara membiarkan penundaan keadilan dalam isu delayed of extract vonnis, seperti bunyi laporan kpai. Bukankah penundaan keadilan (delayed of justice) adalah denied of justice itu sendiri. Tak salah jika menggemakan, delayed of extract vonnis is delayed of justice and against constitutional right of the child. Kebanggaan apa yang hendak diraih jika negara gagal menuntaskan kisruh extract vonnis dan abai melindungi hak anak?
Delegitimasi pidana penjara penundaan extract vonnis juga berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan selanjutnya menunda pemenuhan rehabilitasi anak selaku andikpas yang mesti diberikan oleh otoritas penjara lembaga pemasyarakatan anak. Kalaupun extract vonnis segera diberikan dan anak tersebut menjadi andikpas, hal itupun hanya menyelesaikan satu ranting dari pohon besar problematika anak berkonflik dengan hukum. Mengapa? Karena anak berkonflik dengan hukum bukan hanya pada aras pra adjudikasi dan ajudikasi saja, namun soal post-adjudikasi andikpas pada lp anak juga mengandung masalah kompleks. Misalnya pemenuhan hak anak atas pendidikan yang menurut asl 28 ayat (1) kha pencapaiannya harus dilakukan secara progressif (to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity).
Idemditto hak atas kesehatan, hak atas makan selama menjalani masa hukuman sebagai andikpas juga menjadi soal. Alhasil, fase pembinaan anak atau post adjudikasi tak cuma isu dan fakta seputar overcapacity. Apalagi narapidana anak jumlahnya cenderung meningkat. Pada tahun 2008 dari sumber 29 balai pemasyarakatan (bapas) terdapat 6.505 anak berkonflik dengan hukum yang diajukan ke pengadilan, dan sebanyak 4.622 kasus (71,05%), atas tindak pidana anak dijatuhi pidana penjara. Tahun 2009, abh meningkat menjadi 6.704 anak, dan sebanyak 4.748 anak (70,82%) diantaranya dijatuhi pidana penjara. Sekitar 84,2% anak-anak ditempatkan pada penjara dewasa akibat over capacity penjara anak [kementerian sosial, “pedoman operasional program kesejahteraan sosial anak”, 2011, hal.3].
Di balik over capacity, masih abai pemenuhan hak kesehatan di penjara anak yang sumpek, sanitasi yang buruk dan tak memenuhi standar kesehatan lingkungan. Pasal 44 ayat (3) uu perlindungan anak memberikan hak kesehatan mencakup kuratif, promotif dan preventif, yang diantaranya standar fisik (kamar, perlengkapan tidur) dan sanitasi lingkungan (air bersih, kamar mandi, jamban, pembuangan air limbah, sanitasi makanan) [kementerian kesehatan, “pedoman pelayanan kesehatan anak di lapas/rutan”, 2009, hal.13-14].
Overcapacity: masih efektifkah penjara anak?
Over capacity penjara anak menimbulkan efek turunan yakni pengurangan kompetensi (decompetency) dan penurunan fungsionalitas (defuctionality) penjara anak alias lp anak sebagai tempat andikpas memperbaiki dirinya menjadi lebih baik. Karena itu, sistem peradilan pidana anak harus diubah secara mendasar, termasuk mempertanyakan efektifitas pidana penjara anak. Ini tantangan serius dan terang benderang di depan mata untuk mengganti uu nomor 3 tahun 1997, baik sistem peradilan pidana maupun sistem hukuman.
Sistem hukuman saat ini yang masih mengakui pidana penjara, termasuk bagi anak, sudah mengalami dekonstruksi ataupun delegitimasi. Ruu kuhp dan ruu sistem peradilan pidana anak (ruu sppa) membangun norma pidana penjara tidak lagi sebagai satu-satunya pidana pokok, dengan menyediakan pidana peringatan, pidana latihan kerja sosial, pidana pengawasan [pasal 69 ayat (1) ruu sppa].
Sistem hukuman dalam pasal 69 ayat (1) huruf a, b, c, d ruu sppa secara limitatif menentukan jenis pidana pokok yakni: pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat (social services), latihan kerja sosial, pidana pengawasan, pembinaan dalam lembaga sebagai bentuk pidana pokok. Jenis pidana itu dimaksudkan mengimbangi pidana penjara.
Semestinya, pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat (social services), latihan kerja sosial, pidana pengawasan, pembinaan dalam lembaga, tidak dikualifikasi sebagai pidana tetapi tindakan (maatregelen). Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d ruu sppa tidak tepat sebagai sanksi pidana karena secara kua-teknis sebenarnya tidak lain adalah tindakan, bukan pidana (straft).
Tak berlebihan jika kpai serius mengadvokasi pasal 69 ayat (1) ruu sppa dan sejalan dengan rekomendasinya yang meminta dipertimbangkan lagi pemenjara anak (lihat kpai, laporan sidang ham 2011, hal.8). Pemidanaan anak ke dalam penjara anak tak serta merta memperbaiki narapidana anak. Sebaliknya andikpas bersintuhan dengan sub-kulur penjara yang “sesuatu” dan “tak biasa”. Kritik terhadap penjara anak memang patut dan harus terus dikemukakan, lebih dari sekadar isu delayed extract vonnis.
End delayed of extract vonnis
Mengungkap pengabaian extract vonnis dalam Sidang HAM 2011, bukan cuma isu mikro teknis dan kelalaian administratif tetapi isu HAM/hak anak yang bersintuhan dengan pelanggaran hak konstitusional. Langkah progresif Sidang HAM 2011 menuntaskan soal extract vonnis itu berguna mencegah perampasan kemerdekaan dan mengakhiri pencideraan hak Andikpas. Advokasi kebijakan atas keterlambatan extract vonnis bersamaan dengan kritik HAM atas efektifitas dan kompetensi penjara memperbaiki andikpas agar anak tidak lagi terjerumus masuk kepada keadaan dan sub-kultur penjara anak yang masih menggelisahkan. Tak berlebihan jika upaya mengakhiri pemenjaraan anak dan mengubah sistem hukum hukuman menyembul bersama-sama isu extract vonnis itu.
Penutup
Lakukan yang terbaik untuk anak. Akhiri penundaan extract vonnis.