Child Sex Tourism

Menurut satu versi laporan, di muka bumi ini terhampar ratusan ribu anak-anak tereksploitasi dalam prostitusi. Sumbernya sangat beraneka ragam, misalnya, anak-anak yang hidup di jalanan di Brazil, Kamboja atau Rusia. Ataupun, “beach boys” (“anak pantai”) di Srilanka, Jamaika atau Kenya. Anak-anak jalanan yang lari dari rumah (run away children) atau anak-anak yang mempergunakan narkoba di Eropa Barat, Australia atau Afrika dan Eropa Timur. Di Asia Tenggara dan Asia Selatan, Amerika Latin dan Pasifik, anak-anak menjadi target eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) dalam pariwisata pada dekade lalu.

Estimasi Unicef (badan PBB untuk Dana Anak) dan ECPAT (NGO internasional yang memerangi ESKA), tahun 1996 saja anak yang masuk ke dalam Child Sex Tourism (CST) lebih dari 1 juta. Rinciannya: China lebih 200 ribu, Dominika (25 ribu), India (300-400 ribu), Pakistan (20-40 ribu), Filipina (100 ribu), Sri Lanka (20-30 ribu), Taiwan (60 ribu), Thailand (100-250 ribu), Venezuela (40 ribu). Di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan, dan juga di Amerika Latin dan Pasifik, anak-anak sudah menjadi target CST pada satu dekade lalu.

Bagaimana dengan Indonesia? Data mengenai CST belum terkumpul utuh. Yang dimiliki hanya informasi kasus dan beraneka versi data yang sporadis, dan hanya perkiraan kuantitatif-makro. Yang kerap dipakai hanyalah perkiraan spekulatif usang: sekitar 30 persen dari sekitar 40.000-70.0000 adalah anak-anak dilacurkan (prostituted children).

Padahal, fakta di lapangan banyak yang belum terdata. Menurut laporan rapid assessment versi peneliti ILO/ IPEC, Andri Y Utami, yang sempat teridentifikasi masih 146 titik pelacuran di kawasan Jakarta. Di Jawa Barat misalnya, Andri memverifikasi masih 68 titik pelacuran, yang terkonsentrasi di kawasan Pantura, khususnya Indramayu. Lokasinya? Ditemukan di perkotaan, pedesaan, dan pinggiran. Tipe wilayahnya juga beragam: wilayah transit, daerah perbatasan, daerah wisata, pusat keramaian dan pusat hiburan. Baik dengan tipe terbuka dan terselubung bahkan sangat terselubung.

Hubungan dengan pengelola? Ada yang terikat bekerja dengan “bos” atau “mami” dan ada pula yang freelance, tanpa dimanajemeni mucikari. Korban ESKA yang terikat, lebih eksploitatif dibanding freelancer. Sebab, freelancer tidak terikat waktu kerja yang ketat, penjagaan kaki tangan bos, dan lepas dari dependensi keuangan ataupun jeratan utang dari bos yang merekrutnya. Untuk menutupi utang itu, anak-anak bekerja sebagai pekerja seksual dalam waktu yang tidak sebentar, bahkan sampai bertahun-tahun. Persis bak perbudakan moderen!

Kita patut menyadari bahwa masalah ini belum teratasi secara efektif, dan tentunya memerlukan kolaborasi vertikal dan horizontal. Padahal, Indonesia sudah mengikatkan diri pada beberapa instrumen internasional baik yang diratifikasi atau hanya baru ditandatangani saja, seperti Konvensi ILO No 182, Konvensi Hak Anak (CRC), dan Optional Protocol of CRC on Sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography dan Protocol to Prevent, Supresh and Punish Trafficking in Person Especially Woman and Children.

Realitas buruk yang dialami anak-anak Indonesia semestinya dapat diantisipasi mulai dari hulu perumusan kebijakan, dan regulasi termasuk gerakan membebaskan daerah tujuan wisata dari kejahatan CST. Realitas ini, dalam jangka panjang sangat mungkin bisa merusak citra dan prospek industri pariwisata di Indonesia, utamanya pada tujuan wisata utama dan pintu masuk utama wisatawan manca negara ke Indonesia, yang kemudian akan dianggap sebagai daerah yang “membolehkan” sex tourism. Rasionalitas perlindungan anak dari eksploitasi seksual dalam pariwisata, berada pada tiga konteks.

Pertama, perlindungan anak dari eksploitasi seksual dalam pariwisata ini relevan dengan konsep World Tourism Organization (WTO) mengenai defenisi sustainable tourism. Menurut WTO, Sustainable tourism development meets the needs of present tourists and host regions, while protecting and enhancing opportunities for the future. It is envisaged as leading to management of all resources in such a way that economic, social and aesthetic needs be fulfilled while maintaining cultural integrity, essential ecological process, biological diversity and life support systems.

Kedua, perlindungan anak dari eksploitasi seksual dalam pariwisata adalah wujud dari keterikatan terhadap tanggung jawab pariwisata untuk melaksanakan global code of ethics for tourism. Ketiga, perlindungan anak dari eksploitasi seksual adalah wujud kepatuhan terhadap instrumen hukum nasional dan kebudayaan nasional.

Untuk mengembangkan kebijakan Pencanangan Kampanye Penghapusan Anak dari ESKA di lingkungan pariwisata, kita patut mendukung langkah strategis dan langsung dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bersama-sama dengan komponen non pemerintah, yakni Komnas Perlindungan Anak untuk melakukan kampanye semenjak tahun 2003 lalu. Atas advokasi Komnas Perlindungan Anak, Presiden RI saat itu Megawati Soekarnoputri pada Hari Anak Nasional, 23 Juli 2003, sudah mencanangkan pembebasan Bali dan Batam dari ESKA dalam lingkungan pariwisata.

Kendatipun langkah yang meluas dan komprehensif perlu dilanjutkan dan berkolaborasi dengan industri pariwisata. Apalagi, dimensi masalah CST ini meliputi lingkup dan skala transnasional, sehingga hampir mustahil lepas dari kerja sama berskala transnasional pula. Berbagai kebijakan dan program yang sudah dan akan dikembangkan nantinya, bakal melibatkan masyarakat luas, organisasi internasional dan sektor usaha (pelaku usaha) khsusnya dalam pariwisata.

Sebagai perbandingan, Pemerintah Indonesia dapat menduplikasi model dan strategi atau kebijakan yang sudah dilakukan oleh negara-negara lain. Sejak tahun 1997, WTO membentuk Task Force to Protect Children form Sexual Exploitation in Tourism. Badan pariwisata sedunia ini berusaha menghapuskan ESKA dengan membangun jaringan yang efektif dan membangun kerja sama dengan sektor privat dan masyarakat.

Sebagai instrumen pengelolaan pariwisata, tahun 1999 negara-negara anggota WTO menyetujui the global code of ethics for tourism. Instrumen ini sudah di endorsed Majelis Umum PBB pada Desember 2001. Sejak akhir 2000, WTO juga sudah menjalankan program aksi dengan dukungan masyarakat Eropa (UE) untuk mendukung program awareness rising dan capacity building, untuk International Campaign Against Sexual Exploitation of Children in Tourism. Bukan tidak mungkin, sosialisasi dan kampanye mengenai isi the global code of etichs for tourism dapat pula dikembangkan pemerintah, sektor privat dan masyarakat luas dalam menyelenggarakan program kampanya anti sex tourism pada anak ini.

Untuk mencapai hal dimaksud, kita perlu mengembangkan berbagai hal antara lain: Pertama, terus-menerus melakukan kampanye guna membangun kesadaran permanen dari kalangan masyarakat, sektor industri pariwisata, dan komitmen pemerintah serta penegak hukum guna mendukung perlindungan anak dari eksploitasi seksual di lingkungan pariwisata. Kedua, terwujudnya mekanisme kerja sama dan aksi dalam segenap institusi masyarakat dan lembaga penyelenggara jasa pariwisata, yang bisa bersinergi untuk memberikan perlindungan anak dari eksploitasi seksual. Ketiga, tersedianya mekanisme nasional dan mekanisme di daerah – antara lain dengan cara bersinergi dalam bentuk task force (kelompok kerja) yang bisa langsung bekerja di lapangan secara komprehensif, dan terus menerus mengawal/ menjaga pariwisata yang pro anak.

Melindungi anak hari ini, adalah investasi bagi masa depan bangsa. Selain alasan itu, pemihakan pada anak sudah menjadi esensi kemanusiaan itu sendiri. Karenanya, tindakan paradoks yang mengesploitasi anak, secara ekonomi maupun seksual – berada di luar konteks kemanusiaan yang hakiki.

Leave a Reply