Maaf, Hukum yang Hidup, dan Amaliah Judisial Merawat Negara Hukum

Bukan soal maaf. Bukan soal teknis laporan pidana. Azan itu konteks taati Tuhan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa pertautan paling mesra bangsa Indonesia. Pancasilais (pastilah) menjaganya. Tak berlaku aniaya.

Kita, pecinta Indonesia, surplus alasan jika tabah-loyal, berpeluh-bergumul menjaganya. Tentu, dalam Negara Hukum yang berKetuhanan Yang Maha Esa.

Hari ini pernyataan maaf, esoknya patik membaca sebuah judul berita. Polri pertimbangkan laporan puisi diselesaikan secara damai. Sontak, patik bertanya. Apa yang dijadikan dasar timbulnya berita sedemikian rupa?

Inikah pergumulan pemikiran hukum atau pergelutan penegakan hukum? Kemana sebenarnya hukum bergerak? Ini wilayah amaliah judisial yang “fardhu” dilakoni.

So…, jangan tinggalkan pergumulan hukum. Itu medan perjuangan yang mesti dimenangkan. Jangan sinis dan malas mendiskusikan ikhwal Negara berdasarkan hukum (recht staat), apalagi menyudutkannya sebagai idiom klise yang dibahas sia-sia.

Bagi yang bersikap pesimis, mungkin akan skeptis atau malah meninggalkan area perbincangan dan pergumulan pikiran ikhwal hukum.

Ubah sikap publik yang silent majority itu, karena hukum yang dibuat akan mempengaruhi siapa saja tak pandang bulu, walaupun anda menolak membahasnya. Mari berkontribusi bergulat membenahi hukum.

Tapi tunggu dulu, mengertikah publik bahkan perkakas negara dan pembuat Undang-undang ikhwal apakah itu hukum?

Semestinya rakyat yang menghendaki kemajuan hukum tidak bergegas meninggalkan area perdebatan hukum.

Jika ditinggalkan, hukum akan ditafsirkan dan direproduksi orang yang salah. Apalagi menurut penganut critical legal studies, hukum adalah bagian esensi politik (part of political essence) atau dikenal juga ‘law as politics in disguise’. Hukum sebagai penyamaran kepentingan politik.

Mari kita bekerja keras dan bersyukur keras menggali hikmah dan kebijaksanaan dalam dialog hukum. Apakah hukum itu sesuatu pranata yang sudah jadi dan siap saji?

Hukum bukan seperti memperoleh laptop atau smartphone tipe tertentu yang dibuat langsung jadi dan dibeli langsung dari toko. Lantas tak memperdulikan siapa pemakainya dan apa kebutuhan sosiologisnya.

Hukum itu seperti tamsil bibit pohon yang tumbuh dalam hamparan tanah dan ekosistemnya, bukan tumbuh di ruang hampa. Yang tumbuhnya membutuhkan kritik sebagai pupuk dan menghendaki perdebatan sebagai perawaran, disiram dengan keutuhan pemahaman dan diberi sinar secukupnya sebagai energi merekatkan.

Yang daya hidup dan tumbuhnya atas berkat rahmat Tuhan Yang Masa Esa sebagai penguasa hidup. Yang hadirnya berguna untuk kemaslahatan umat manusia. Hukum itu bertumbuh, menghidup dan aktual berguna bagi kemaslahatan semua.

Tersebab itu, Hukum tak melulu hukum formal yang legalistik, namun sifat hukum itu historis dan tumbuh aktual (sebut saja “actualizing law”/AL) atau hukum yang dalam literatur dikenal dengan hukum yang hidup (living law/LL). Yang kua sosiologis justru AL ataupun LL itu dengan sukarela dipatuhi dan diikuti masyarakat hukum, walaupun tidak diformalisasi dan tanpa sanksi badani ala hukum pidana.

Kua historis, sosiologis dan juridis, sumbangan syariat Islam yang menjadi esensi hukum yang dikenal sebagai AL ataupun LL itu justru mendominasi dan signifikan dalam dinamika berhukum masyarakat Indonesia. Berhukum bukan berarti sama dengan berurusan dengan struktur hukum seperti polisi, jaksa dan hakim idemditto advokat. Berhukum bukan sama dengan berurusan dengan gedung pengadilan atau kantor parlemen.

Namun berhukum adalah perilaku manusia yang tak bisa terlepas, seperti menghisap udara bagi manusia.

Saat anda liburan ke luar negeri memakai visa, jalan-jalan ke desa dengan sopan santun yang dijaga, antri menunggu bis kota dan mendahulukan wanita, menggunakan trotoar jalan raya, mengetik pesan di media sosial, ataupun minum kopi di kedai kopi lokal tanpa asap rokok, membayar tagihannya dengan kartu kredit, membantu menyeberangkan tuna netra atau nenek tua dari riuh jalan kota, maka anda bertemali dengan hukum, moral dan etika.

Karenanya, warga masyarakat yang menjalankan dan patuh pada AL ataupun LL, yang dijalankan sehari-hari tanpa paksaan adalah bukan berada pada bagian luar dalam sejarah dan sistem hukum nasional. Malahan itu modalitas dan bertenaga bagi negara hukum yang menghendaki kepatuhan hukum warganya.

Hukum berdasarkan syariat Islam yang dipatuhi sebagai hukum yang hidup dan aktual, bukan hanya aras akademis dan filosofis namun praktis dan aktual.

Pembaca, karena itu AL dan LL bukan ancaman atau anasir asing yang mesti disingkirkan, dibatalkan, atau berada di luar konteks hukum nasional. Wajar dan absah jika pembuatan hukum menyerap AL ataupun LL agar hukum efektif dipatuhi.

Formalisasi peraturan daerah (Perda) yang menjaga moral masyarakat dan bangsa, mendorong perilaku beretika kepada anak muda belia agar belajar dan mengaji sore hari/magrib, menggunakan pakaian santun dan berhijab, atau berbagai norma aktual lainnya yang justru konstruktif membangun moral dan etika sejak muda belia.

Moral etika adalah saripati hukum. Mantan Ketua Mahkamah Agung USA, Earl Warren menyebutkan, “In civilized life, law floats on the sea of ethics”. Hukum berlayar di samudera etika. Jika etika tiada, maka hukum tak bisa berjalan sama sekali.

Jadi mari bersyukur bahwa syariat Islam sebagai AL ataupun LL justru penyumbang tumbuhnya hukum nasional yang bermoral etika. Menyumbang sebagai samudera etika bagi kapal hukum. Bahkan Pasal 29 UUD 1945 dan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai falsafah hidup, nilai dan moral adalah sumbangan terbesar Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sumbangan yang bertenaga dan historis bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Pun jika merujuk ajaran Sukarno dalam buku kumpulan kuliah Pancasila, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pertautan yang paling mesra bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jangan mengusik dan mencagelnya.

Mari aktif menjaga NKRI dengan hadir mengawal pergumulan hukum. Inci demi inci kata demi kata, frasa, kalimat dan ayat dalam pembuatan Undang-undang. Agar kapal hukum bisa berlayar disamudera etika.

Menyuarakan hukum, amaliah judisial itu, tak hanya soal memberi dan meminta maaf, membuka damai dan memberi damai, namun soal menjamin dan merawat negara Hukum dalam negara yang beridiologikan Pancasila. Anda menyuarakan keadilan dan bergelut merawat negara hukum, anda Pancasilais. Allau’alam. Tabik. (Muhammad Joni, Ketua Masyaraat Konstitusi Indonesia/MKI).

1 Response

  1. Imran A. Siradj

    Semoga anak2 bung Karno dan keturunannya ikut membaca tulisan bang Haji Muhsmmad Joni ini, semoga bermanfaat, ampunilah orang yg tak tahu islam, KTP nya yg salah here here here
    We by NJ
    .

Leave a Reply