Tarik Tambang RUU BPJS: Apa Tafsir Mahkamah Konstitusi?

Bertahun-tahun RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) tak kunjung selesai. Pemerintah dan DPR berbeda pendapat soal  bentuk badan penyelenggaranya. Padahal jaminan sosial sebagai hak konsitusional mestinya lekas-lekas diberikan.

Setahun setelah sahnya UU No. 40 Tahun 204 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,  Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan.  Putusan MK Perkara Nomor 007/PUU-III/2005 Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan  bahwa  “tidak mengikat Pasal 5 Ayat (2),  (3),  (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional”.

Implikasinya, Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan oleh Badan  Penyelenggara Jaminan Sosial yang didasarkan kepada Pasal 5 Ayat (2),  (3), (4) UU Nomor 40/2004, tidak berlaku lagi. MK menyatakan Pasal 5 Ayat (2), (3), (4)  UU Nomor 40/2004 bertentangan dengan UUD 1945.

Karenanya, Putusan MK ini mencabut dasar berlaku dan mengikat bagi perusahaan asuransi profit yakni Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK),  Perusahaan Perseroan  (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) sebagai badan penyelenggara jaminan sosial.

Lepas dari konteks  pertimbangan yang dikeluarkan oleh MK dalam putusannya, keberadaan empat Perusahaan  Perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saham-sahamnya dimiliki Pemerintah tersebut, norma hukum yang dikandung dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004 itu, secara kelembagaan masih memiliki resistensi yuridis untuk menyelenggarakan jaminan sosial – sebagai hak konstitusional bagi seluruh rakyat.  Sekali lagi, hak konstitusional seluruh rakyat yang wajib dibayarkan Pemerintah. Bukan eksklusif  hak konstitusional rakyat di sektor formal saja!
Dilihat dari skala permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia, yang lebih banyak tersebar pada sektor informal, maka pemenuhan hak konstitusional rakyat atas jaminan sosial,  diperkirakan akan gagal atau setidaknya pemberian keadilan atas jaminan sosial kepada rakyat akan tertunda (delayed justice).

Dengan resistensi kapasitas yuridis kelembagaan , sulit bagi Perusahaan Perseroan yang disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004 itu  mampu menjalankan  amanat Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 – yang sejatinya berada dipundak Pemerintah sebagai principal dari mandat penyelenggaraan jaminan sosial.

Belum lagi, penyelenggaraan jaminan sosial – yang menjadi hak seluruh rakyat dengan segala aspek permasalahan sosial yang disandangnya – tidak bisa hanya  dengan mengembangkan sistem asuransi sosial (social insurance) saja.

Dalam perspektif kesejahteraan sosial, dikenal pula skema bantuan sosial (social assistance), baik untuk kelompok masyarakat yang membutuhkannya karena hambatan permanen (permanent social assistance) maupun karena hambatan yang darurat atau bersifat sementara saja (temporary social assistence).

Jadi, bantuan sosial diberikan kepada perorangan, keluarga, kelompok atau komunitas sebagai pengganti atas kehilangan fungsi-fungsi sosial ekonominya, baik secara permanen maupun untuk sementara waktu.

MENUJU SINGLE PAYER BPJS

Dalam amar Putusan MK Perkara Nomor 007/PUU-III/2005, antara lain sebagai berikut:
(1) Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional  bertentangan dengan UUD 1945;
(2) Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU  Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional   tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Dalam bagian pertimbangnya, Putusan MK ini, dapat ditelaah dengan memaparkan konsep jaminan sosial yang secara de facto masih dibutuhkan oleh warga masyarakat, khususnya dari kelompok masyarakat miskin, sektor informal, dan masyarakat yang dikenal sebagai PMKS.

Berikut ini dikutip bunyi pertimbangan MK, antara lain:

“Bahwa kendatipun UUD 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial tetapi UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud.  UUD 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional – yang sekaligus merupakan tujuan – dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat (garis bawah dan huruf tebal dari penulis) dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”:

Menurut pendapat MK dalam pertimbangannya, apapun  sistem yang dipilih dan diterapkan, tidak berarti UU Nomor 40 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut pertimbangan MK, sistem jaminan sosial versi UU Nomor 40 Tahun 2004 itu mesti bertujuan untuk kesejahteraan seluruh rakyat untuk mencapai manusia bermartabat. Dengan demikian, pertimbangan MK sangat kental dengan isue  penjangkauan jaminan sosial untuk seluruh warga masyarakat. Utamanya untuk kepentingan warga miskin (pro poor).

Komitmen pemberian jaminan sosial secara menyeluruh, merata dan tanpa diskriminasi.  Dalam situasi aktual saat ini, masyarakat miskin dan penyandang PMKS yang merupakan segmen yang belum tersentuh sistem  asuransi sosial yang sudah ada. Penjangkauan hak konstitusional atas jaminan sosial bagi seluruh warga masyarakat ini, dapat dipahami dalam konteks untuk mencegah terjadinya diskriminasi kebijakan dan hukum, serta untuk memastikan (to ensure) pemenuhan hak atas kesejahteraan.

Lepas dari pertimbangan MK yang berpendapat bahwa UU Nomor 40 Tahun 2004 telah sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat 3 UUD 1945, bahwa apapun sistem jaminan sosial yang dikembangkan dan diterapkan, asalkan bermaksud untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh kelompok rakyat untuk lebih bermartabat.

Dengan kata lain, UU Nomor 40 Tahun 2004 tidak  eksklusif untuk memberikan jaminan sosial bagi kelompok atau segmen tertentu. Tidak konstitusional jika sistem jaminan sosial untuk kelompok sektor formal saja.

Karenanya, mendelegasikan wewenang penyelenggaraan jaminan sosial dari Pemerintah (Pusat, dan Daerah) sebagai principal mandat untuk menyelenggarakan kewajiban negara (state obligation) atas jaminan sosial kepada seluruh segmentasi warga masyarakat, adalah absah saja.  Karena itu, pendelegasian kekuasaan yang bersumber dari principal yang  -dengan mekanisme  tertentu- didelegasikan kepada badan tertentu  selaku agent yang diatur dalam Undang-undang harus pula sesuai dengan Undang-undang Dasar (konstitusi) negara.

Konstruksi  pendelegasian mandat atau wewenang dari Pemerintah selaku principal penyelenggaraan jaminan sosial kepada agent Badan Penyelenggara jaminan Sosial, mengikuti konstrukti teoritis pendelegasian kebijakan moneter   dari Francesco Lippi, dalam “Central Bank Independence, Targets and Credibility”.  Dikonstruksikan adanya pemberian kewenangan dalam kebijakan moneter dari principal yakni pemerintah atau parlemen kepada bank sentral yang disebut sebagai “a delegation arrangement for monetary policy”.

Masalahnya, kepada siapakah pendelegasian itu diberikan pemegang mandat konstutusional?  Pemberian delegasi menyelenggarakan jaminan sosial secara “sepihak” hanya oleh Pemerintah (Pusat) hanya limitatif kepada lembaga perusahaan asuransi profit sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 2004, masih menyisakan pertanyaan krusial dan berbagai permasalahan  hukum.

Norma  Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004,  dengan interpretasi secara sistematis jelas kontradiktif dengan prinsip-prinsip jaminan sosial yang terkandung dalam norma  Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 2004, yang dalam huruf d menganut prinsip nirlaba. Nirlaba (non profit) sebagai antitesis dari sifat perusahaan yang dikelola dengan prinsip profit. Artinya, berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 yang menjadi derifasi  Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, hanya lembaga nirlaba saja yang relevan dengan penyelenggaraan jaminan sosial.

Pendelegasian wewenang Pemerintah menyelenggarakan jaminan sosial hanya kepada empat Perusahaan Perseroan itu, bukan saja berhadapan dengan prinsip nirlaba (Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 2004), namun secara yuridis mengandung resistensi dalam kelembagaan perusahaan perseroan berbadan hukum Perseroan Terbatas – yang memiliki maksud dan tujuan yang spesifik dalam Anggaran Dasar pada akte pendirian perusahaan.

Ditilik  dari hukum perseroan, Perusahaan Perseroan sebagai badan hukum terpisah (separate legal entity) yang berbentuk PT,  wajib patuh kepada  ketentuan hukum perseroan dan Anggaran Dasar Perseroan.  Berdasarkan Pasal 2 UU Perseroan Terbatas,  sebuah PT hanya menjalankan usaha sesuai dengan maksud perusahaan dalam Anggaran Dasarnya. Penegasan maksud dan tujuan perusahaan dalam “purpose clause” dari statuta  secara spesifik memberi efek pada pendefenisian “the scope of the authorized corporate enterprise”.

Sebagai BUMN, perusahaan perseroan  JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES,  tidak bisa dilepaskan dari Master Plan Revitalisasi BUMN 2005-2009yang menetapkan tiga kebijakan dasar yakni restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi BUMN yang sedang dikembangkan Pemerintah. Sehingga bisa mengalami disorientasi prinsip ke-nirlaba-an dalam kedudukannya sebagai penyelenggara jaminan sosial.

DISKUSI

Dengan dinyatakan tidak mengikatnya Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 berdasarkan putusan MK, maka  tidak terdapat legitimasi bagi empat Perusahaan Perseroan untuk menjadi penyelenggara jaminan sosial. Landasan yuridis yang masih eksis dan mengikat sebagai dasar hukum hanyalah Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004, yang mengandung norma bagi pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dimaksud, sudah memiliki  dasar pula untuk dikembangkan secara secara tunggal, yakni hanya dikelola oleh Badan Penyelenggara yang ditetapkan dengan Undang-undang. Tidak  lagi membuka kemungkinan dikelola secara bersamaan antara empat Perusahaan Perseroan (vide Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004), dan juga dapat dikelola oleh Badan Penyelenggara – yang dapat dibentuk versi Pasal 5 ayat (4)  UU Nomor 40 tahun 2004.

Secara konstitusional, tidak ada kendala untuk mengembangkan sistem jaminan sosial yang dikelola oleh lembaga tunggal seperti dikemukakan diatas. Apalagi, pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 007/PUU-III/2005, tidak memberikan  halangan konstitusional mengembangkan sistem jaminan sosial yang manapun. Yang pasti, MK  menegaskan pentingnya memastikan (to ensure) bahwa sistem jaminan sosial yang dikembangkan untuk menjangkau seluruh warga masyarakat.

Dari pendapat MK itu dapat ditafsirkan bahwa sistem jaminan sosial yang dikembangkan adalah sistem jaminan sosial yang  berskala nasional, tidak terbatas untuk  kelompok tertentu. Sehingga, mengacu kepada pendapat Putusan MK Nomor 007/PUU/III/2005, pemberian wewenang untuk menjalankan jaminan sosial kepada badan hukum privat seperti JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, ASKES, mengalami tantangan konstitusional dan yuridis untuk menjangkau sistem jaminan sosial yang diterapkan untuk seluruh warga masyarakat.

Jika dielaborasi lebih dalam, tafsir atas pendapat MK tersebut adalah bahwa  sistem jaminan sosial  dikembangkan dalam skala  menasional atau bukan terserak-serak dikembangkan masing-masing daerah. Akan tetapi, jaminan sosial yang sudah berkembang di daerah dapat diintegrasikan sebagai sub sistem jaminan sosial – yang menasional tersebut.

Berbagai bentuk dan lembaga yang sudah menjalankan program jaminan sosial, dapat berintegrasi sebagai totalitas sistem jaminan sosial nasional – yang dikembangkan berbasis kepada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004. Kedudukannya dapat mengisi sub sistem jaminan sosial nasional, dan dalam kegiatan tertentu dapat pula bertindak untuk mengerjakan atau menjalankan program yang disiapkan Badan Penyelenggara – baik yang bersifat program inti  jaminan sosial, maupun program turunan mendukung program jaminan sosial.
Untuk mengembangkan sistem jaminan sosial seperti Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004 itu, dikemukakan beberapa agenda  berikut ini.

Pertama, mengembangkan sistem jaminan sosial yang memberi fokus kepada jaminan sosial (social insurance), dan membebaskan fokusnya dari program bantuan sosial (social assistance);

Kedua, mengonsolidasikan program-program jaminan sosial  yang terserak-serak atau berada pada sektor dan instansi terkait. Termasuk program sporadis dan sementara  yang  dilakukan  secara ad hoc, seperti  kompensasi subsidi BBM dalam bentuk  cash money.

Ketiga, mengonsolidasikan  program jaminan sosial yang sudah dikelola oleh Pemerintah Daerah;

Keempat, memberikan proritas atau perhatian khusus kelompok sasaran warga miskin dan PMKS – sebagai segmen masyarakat yang belum tersentuh dan mengintegrasikannya masuk ke dalam sistem jaminan sosial.

Kelima, membangun kerjasama, partisipasi dan  pengawasan  secara transparan dan akuntabel bersama masyarakat.

*Tulisan ini bagian dari Analisa Putusan MK yang diterbitkan pada Jurnal Konstitusi, berjudul “Menuju Jaminan Sosal Untuk Semua dan “Pro Poor”: Hak Konstitusional yang (masih) Terabaikan”, Vol. 2, No. 3 November 2005*

Leave a Reply